Sabtu, 27 April 2013

KOTAGEDE IBUKOTA MATARAM


KOTAGEDE IBUKOTA MATARAM
Kajian tentang Sejarah Ekonomi kota lama Yogyakarta abad ke-16 hingga abad ke-19
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan




Oleh :
Nurmi Kusumaning Tyas
(09406241003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKRTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Menjelajahi Sejarah suatu kota ibaratkan bagai melewati lorong waktu dan terbawa  ke tempat dimana peradaban masa lampau itu ada. Sama halnya ketika penulis membahas Kotegede seperti kembali pada masa lampau dan merasakan atsmosfir kehidupan pada saat itu.  Kotagede menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih mendalam terkait bekas Ibukota lama tersebut, memaksa untuk memaparkan sesuatu yang bahkan penulis belum lahir dikala itu. Namun itu adalah keterpaksaan yang menyenangkan karena Kotagede menyimpan banyak peninggalan bangunan bersejarah termasuk Pasar Gede yang merupakan pasar lama sejak zaman mataram berdiri.
Kotagede adalah sepenggal kotalama yang mengkisahkan perjalanan kota Yogyakarta sehingga besar seperti sekarang. Yogyakarta merupakan kota nan Istimewa, dimana jika dirunut perkembangannya pada masa sekarang telah tetap menjadi Istimewa karena budayanya, masyarakatnya maupun potensi wisatanya yang memukau. Hal itu pastilah tidak bisa dilepaskan akan sejarah kota Yogyakarta pada masa lampau. Berawal dari sebuah Kerajaan yaitu Mataram Islam yang mampu membangun sebuah peradaban kota dan berkembang hingga sekarang.
Yogyakarta yang mendapat predikat sebagai kota Budaya, kota bersejarah, kota perjuangan dan lain sebagainya mempunyai kaitan  yang erat dengan  sejarah masa lalu dan lebih jauh menunjuk pada sebuah kerajaan  besar bernafaskan islam yaitu Kerajaan Mataram Islam. Kemunculan kota dapat terjadi secara spontan, sehingga dapat tumbuh menjadi kota yang berfungsi dan dari segi aspek politik akan memegang peranan penting terhadap perkembangan kota. Disini penulis tertarik untuk menuliskan sejarah kotagedeyang sempat menjadi ibukota mataram dan menjadi tonggak perekonomian keraton pada masanya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana gambaran Umum Kotagede sebagai ibukota Mataram pada Abad ke-16?
2.      Bagaimana tata kota Kotagede?
3.      Bagaimana eksistensi Kotagede sebagai tonggak perekonomian kraton?
C.    TUJUAN
1.      Mengetahui gambaran Umum Kotagede sebagai ibukota Mataram pada Abad ke-16
2.      Menjelaskan konsep dan tatakota Kotagede
3.      Mendeskripsikan eksistensi Kotagede sebagai tonggak Perekonomian lewat industri kerajinan, pasar gede.
D.    MANFAAT
1.      Mendapatkan pengetahuan mengenai gambaran Umum Kotagede sebagai ibukota Mataram
2.      Mendapatkan Penjelasan terkait konsep dan tatakota Kotagede
3.      Dapat mendeskripsikan eksistensi Kotagede sebagai tonggak Perekonomian lewat industri kerajinan, pasar gede.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    KOTAGEDE SEBAGAI IBUKOTA MATARAM
Kotagede adalah sebuah kota lama dari abad ke-16 yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh Ki  Gede Pamanahan.  Bumi mataram diperolehnya ketika bersama Ki Penjawi  berhasil menumpas kerusuhan  pajang  yang dipimpin  oleh Arya Panangsang. Atas keberhasilannya itu sultan Hadiwijaya yang merupakan Raja Pajang memberi hadiah Ki Penjawi dan Ki Gede Pemanahan berupa tanah di Pati dan Mataram. Pada waktu itu Pati telah menjadi kota yang ramai, sedangkan Mataram masih berupa hutan bernama Alas Mentaok. Setelah menerima bumi Mataram, Ki Gede Pemanahan menjadi petinggi si daerah tersebut dan kemudian bernama Ki Gede Mataram atau Ki Ageng Mataram. Ki Ageng Mataram mempunyai anak Sutawijaya yang menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya di Pajang.
Masih terkait dengan ceritera tersebut, Soekmono juga mendukung hal itu, disebutkan bahwa Kotagede secara historis merupakan bekas kota lama dan pernah mengalami masa kejayaan sebagai kota besar pada jaman Panembahan Senopati. Nama kecil panembahan Senopati adalah Sutawijaya yang terkenal gagah berani dan mahir dalam berperang. Cikal bakal Kotagede bermula dari Kyai Ageng Pamanahan yang bergelar Pemanahan Ki Gede Mataram, seorang perwira raja Pajang, Kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah selatan. Mataram yang pada waktu itu masih berupa hutan Mentaok dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Gede Mataram karena telah dapat membunuh Raden Adipati Aryo Panangsang yang telah melakukan pemberontakan pada tahun 1527 di Jepang Panolan.[1]
            Menurut H.J. van Mook, Kotagede pada awal abad ke-20 memang tidak lagi menunjukkan dirinya sebagai sebuah Ibukota dari salah satu bekas ibukota kerajaan Mataram Islam abad ke-17, kecuali nama yang melekat pada wilayah ini, masjid, makam dan legenda yang terus hidup didalam masyarakatnya. Kotagede telah melewati rute perjalanan yang panjang, sehingga situs-situs yang tersisa seperti tembok-tembok kota dan tata ruang kota pada awal abad ke-20 tidak lagi menunjukkan kemegahan sebuah kota yang pada awalnya berkembang sebagai kota keraton.[2]
Pembangunan Ibukota  Setelah pajang surut, muncullah Panembahan Senopati menjadi adipati di Mataram. Sebagai seorang adipati, Senapati, ia mempunyai cita-cita meluaskan kekuasaannya ke timur dan barat. Pada tahun 1587 daerah timur dapat dikuasainya dan pada tahun 1595 daerah Cirebon ditundukannya pula. Pusat kekuasaannya ditempatkan di Kotagede yang teretak kurang lebih 6 km dari kota Yogyakarta. Kotagede merupakan bekas kota lama yang pernah mengalami kejayaan sebagai kota besar pada jamannya (Panembahan Senopati). Sebagai ibukota dan pusat perdagangan, kotagede menjadi tempat tinggal bagi orang-orng yang kayak arena usaha perdagangannya yang maju dan dilengkapi pula dengan masjid yang dikenal Masjid Mataram Kotagede[3]
Setelah perjanjian Giyanti 1755, Kotagede sebagai warisan nenek moyang dinasti Mataram dibagi menjdi dua pula, seperti halnya wilayah mataram lainnya. Sebagian Kotagede menjadi wilayah Kasunanan Surakarta dan sebagian lagi menjadi wilayah Kasultanan Yogyakarta. Dalam perkembangannya pada tahun 1950, wilayah milik kasunanan Surakarta dimasukkan ke lingkungan administrasi  pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, bersama-sama dengan enclave Imogiri dan Ngawen

B.     TATA KOTA KOTAGEDE
Konsep tentang Kekuasaan Masyarakat Jawa, pada umumnya mengutamakan unsur kosmologi sebagai pemegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Unsur tersebut kemudian menjadi konsep dan acuan tindakan manusia dalam menentukan kebijaksanaan hidup, termasuk membangun suatu pemerintahan, kerajaan, istana juga kota. Di Jawa konsep mengenai kerajaan dan kekuasan dipengaruhi adanya hubungan antara manusia dengan penciptanya, merambah juga antara rakyat (kawula) dengan rajanya (gusti). Dengan kata lain ajaran Hindu-Budha masih mewarnai pemerintahan pada masa 9-10 M di Jawa masih berlanjut pada masa Islam yaitu saat-saat kerajaan Islam.
Pada zaman mataram, konsep itu berkembang sedikit menjadi konsep lingkaran konsentris. Ditengah-tengah keraton, tempat kediaman raja, ruang yang diistimewakan, dengan “pemerintah dalam”nya sendiri (parentah jero). Disekitar istana, ibukota yang disebut dengan nama nagara, seperti Negara itu sendiri.  Ibukota merupakan kedudukan “pemerintahan luar” (parentah jaba), dan disitu terdapat kediaman kaum bangsawan dan kaum priyayi, yang ditempatkan di bawah patih atau “perdana menteri”. Dan disekitar ibukota itu terdapat lingkaran nagaragyng, yang secara harfiah berarti “ibukota besar” atau lebih tepat :ibukota dalam arti luas”.[4]
Dari data arkeologis di Kotagede ditemukan adanya masjid kerajaan, makam kerajaan, pasar, sisa-sisa benteng, sisa jagang yang masih Nampak, mmerupakan bukti mengenai tatakota lama Kotagede. Selain itu topomini nama-nama tempat, pemukiman yang masih  dikenal sampai kini erat kaitannya dengan keberadaan Kotagede sebagai bekas ibukota kerajan. Adanya masjid, makam, alun-alun yang ini merupakan perkampungan  (kampong alun-alun), kesemuanya merupakan kelengkapan keraton.[5]
Orientasi tata kota lama Kotagede, dapat diketahui pula bagaimana karakteristik atau watak-watak khusus situs lingkungan kota. Berdasarkan pertimbangan ekologis, Kotagede didirikan di daerah subur dengan aliran sungai Gajahwong yang selain bermanfaat untuk pertanian juga mempunyai nilai pertahanan bagi kota. Kampong dalem yang diperkirakan bekas istana, oleh SRI Sultan Hamengku Buwono VIII dijadikan tempat makam keluarga sultan yang tidak dapat dimakamkan  di Imogiri karana alasan tertentu. Kampong dalem ini berada di sebelah selatan kampong Alun-alun. Sedang disebelah baratnya berdiri kompleks masjid Mataram Kotagede. Perkampungan disekitar Dalem masih menujukkan tempat tinggal. Di sebelah utara kampong alun-alun terdapat Pasar Gede yang telah ada sejak lama.
Raja dan kerabat Istana dibantu oleh para punggawa dan abdi dalem memungkinkannya untuk membuat perkampungan sesuai dengan kebutuhan profesi masing-masing. Sehingga pola konsentris tetap berangsung semenjak pemerintahan kerajaan sebelumnya yaitu kotadan istana sebagai titik pusat, disamping pemukiman pembantu raja yang ada di sekitarnya.perubahan pagar, benteng dalam dan luar (beteng njero dan beteng jaba), jagang dalam dan jagang luar, merupakan system pertahanan kota yang mempunyai fungsi arti magis dalam konsep kota lama.
Baru kemudian pada permulaan abad ke tujuh belas, Kotagede yang berstatus ibukota Kerajaaan Mataram secara perlahan-lahan ditinggalkan oleh Sultan Agung dan lebih banyak tinggal di Kerta dan Plered. Amangkurat 1 pun bersemayam di Pleret. Meskipun demikian makam di Kotagede tetap merupakan pusat upaacara penghormatan raja-raja.

C.    KOTAGEDE SEBAGAI TONGGAK PEREKONOMIAN KRATON
Penduduk inti berasal dari keturunan dari abdi dalem raja yang pada dasarnya memegang peranan penting semasa ibukota kerajaan berada di kotagede. Rumah-rumah yang dipakai penduduk golongan inti mempunyai model Jawa yaitu pendapa, joglo, dalem dan gandhok. Ada kecenderungan rumah huniannya meniru tempat  tinggal bangsawan keraton. Pada siang hari, rumah mereka digunakan sebagai temoat untuk membuat perhiasan emas, perak, batik, tanduk kuningan dan barang-barang dari tembaga. Akan tetapi yang sekarang masih dilakukan orang adalah kerajinan perak, emas, kuningan dan tembaga.
Orang Kalang. Kalang adalah sebutan  dari segolongan orang yang hidup pada tempat-tempat tersebar dipulau Jawa, terutama di daerah-daerah seluruh Jawa Tengah. Dahulu mereka hidup mengembara dari hutan-ke hutan, sedangkan makanan mereka adalah buah-buahan, tumbuh-tumbuhan hutan dan binatang-binatang buruan dan Ikan yang mereka tangkap dari sungai-sungai.[6]
Penghidupan orang-orang di Kotagede sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha barang-barang industry Kerajinan. Pekerjaan sebagai pengrajin ini merupakan naluri yang turun temurun dari nenek moyangnya. Sejak abad XVI Masehi, tepatnya pada zaman Kerajaan Mataram Islam, Kotagede telah menjadi pusat perdagangan yang cukup maju. Barang-barang yabg diperdagangkan selain berupa hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga banyak hasil-hasil kerajinan  masyarakat Kotagede.
Walaupun Kotagede dikenal sebagai pusat perdagangan barang-barang kerajinan, akan tetapi tidak terdapat data satatistik secara tertulis berapa besar hasil kerajinan dan perdagangan yang ada. Data tersebut baru dapat diketemukan mulai tahun 1922 berupa catatan tentang jumlah pedagang dan industry kerajinan dari empat kalurahan yaitu Preggan, Basen, Sayangan dan Mutinan.[7]
Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram, industri yang paling menonjol adalah Industri kerajinan emas yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan keraton. Berikutnya jenis kerajinan yang paling maju di Kotagede ialah kerajinan perak. Hasil kerajinan perak Kotagede ini pada mulanya untukmemenuhi kebutuhan para bangsawan dan keraton, terutama pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dari kasultanan Yogyakarta.[8] Dalam perkembangan Industri Kerajinan perak Kotagede mengalami kemajuan pesat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pesanan dari luar negeri. Oleh Karena itu Kotagede lebih dikenal sebagai “Kota Perak” dari pada sebagai kota peninggalan bekas ibukota Mataram yang bersejarah
Penduduk Kotagede terbagi menjadi empat golongan. Petama, golongan pegawai kerajaan (abdi dalem), terdiri dari beberapa pejabat pemerintahan, petugas makam dan masjid. Kedua, para pembuat batu permata, perhiasan emas dan perak. Kotagede merupakan pusat perdagangan permata terbesar di seluruh Hindia (Belanda), perdagangan batik dan berbagai kerajinan local. Ketiga adalah golongan para perajin dan pedagang kecil. Dan golongan keempat adalah buruh harian dan petani dari pinggiran Kotagede.[9]

TONGGAK PEREKONOMIAN
Setelah Panembahan Senopati menjadi raja Mataram, ia membangun Ibukota Mataram sehingga menjadi ramai. Ibukota  Mataram ini dijadikan pusat perekonomian dan pemerintahan. Terbukti dengan dibangunnya Istana raja (Kedaton) yaitu tempat raja bersemayam beserta istri, para abdi, dan punggawa kerajaan yang menjaga keamanan dan ketentramannya
Pasar Kotagede Sejarah Dan Peranannya
Pasar Gede yang sekarang masih dapat dijumpai di Kotagede telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pasar ini telah ada sejak zaman Ki Ageng Pamanahan. Pasar Gede dahulu belum seluas seperti sekarang ini dan masih ditumbuhi pohon-pohon rindang. Pasar di Kotagede ini terkenal dengan nama “Pasar Gede” yang menjual barang-barang kebutuhan harian seperti hasil pertanian, makanan, ikan, tembakau, dll.
Industri perak dan emas, yang berpusat di Kotagede, juga pernah memiliki reputasi yang sangat baik. Pada awal 1890-an, pembuatan barang-barang dari logam mulia sedang merosot dengan terjadinya krisis ekonomi pada paruh kedua tahun 1880-an.[10] Kotagede sendiri, tempat utama industry perak merupakan salah satu bukti tentang prestasi besar Industri dan perdagangan pribumidi daerah Yogyakarta. Pada masa colonial, bekas kota istana ini merupakan pusatindustri dan perdagangan terkemuka yang telah melahirkan orang-orang kaya dari waktu ke waktu selalu menimbulkan kekaguman bagi banyak orang.
            Pusat Industri Kerajinan di Jawa abad XVII
                        Pendukung terbesar perajin dan pedangan Kotagede pada  sejarah berdirinya kota adalah pihak istana kerajaan dan para pejabat. Ini terjadi karena mereka membutuhkan barang-barang kerajinan yng memiliki nilai istimewa seperti keris pedang, tombak, perhiasan emas dan perak, permata, perabot yang halus, alat music, kereta dan semacamnya.[11]
                        Pada Jurnal Humaniora hal 99 disebutkan bahwa Keraton, selain membutuhkan barang-barang pakai kebutuhan sehari-hari, juga sangat berkepentingan terhadap diproduksinya barang-barang mewah yang mampu mendukung kultus kemegahan raja. Untuk itu, tenaga-tenaga terampil senantiaasa dipekerjakan di istana, baik pada saat keraton masih di Kotagede, di Kreta, maupun di Plered.
Untuk mencukupi kebutuhan perekonomian, keraton mempunyai sumber pengahasilan sendiri,daerah tertentu yang menyediakan berasuntuk keperluan dapur istana, desa tertentu untuk menyediakan minyak kelapa, hutan tertentu untuk menyediakan kayu bagi bangunan istana. Sumber pemasukan kraton lainnya berupa pungutan dari rakyatdalm bentuk barang atau tenaga kerja manusia yang bekerja sukarela untuk raja. Selain itu juga beacukai yang dipungut dalamperdagangandan kota-kota pelabuhan dengan aktivitas perdaganganya telah menjdi sumber keuntungan kerajaan Mataram.


















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Yogyakarta kaya akan budayanya yang tidak bisa dipungkiri lagi kiprahnya yang mendunia. Kotagede yang merupakan sebuah kecamatn di Kotamadya Yogyakarta dan secara fisik hanya menjadi bagian kecil kota Yogyakarta, ternyata menyimpan banyak peninggalan yang sarat dengan nilai sejarah. Kotagede adalah sebuah kota lama dari abad ke-16 yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh Ki  Gede Pamanahan.
Lebih dari itu, Kotagede terkenal akan keramaian pasarnya, hal ini sudah terjadi semenjak Ki Ageng Pamanahan membuka hutan dan emramaikannya dengan membawa kerabat dan pengikutnya untuk menghuni tempat baru itu. Hal yang dominan yang menjadi Karakteristik dari Kotagede, selain tata kota yang telh terpola menurut konsep Kerajan Jawa adalah msjid, makam. Kerajaan, pasar, alun-alun, juga nama-nama perkampungan yang menunjukkan perofesi seorang pekerja Kraton.
Kerajinan perak yang mencuat menggeser kerajianan emas juga merupakan cirri dari Kota lama tersebut hingga sekarang. Walaupun kerajinan yang dilakukan orang-orang di Kotagede umumnya masih menggunakan peralatan tradisional. Secara cultural, Mataram yang beribukota di Kotagede ini bercorak Islam. Setelah Panembahan Senopati menjadi raja Mataram, ia membangun Ibukota Mataram sehingga menjadi ramai. Ibukota  Mataram ini dijadikan pusat perekonomian dan pemerintahan. Terbukti dengan dibangunnya Istana raja (Kedaton) yaitu tempat raja bersemayam beserta istri, para abdi, dan punggawa kerajaan yang menjaga keamanan dan ketentramannya.







DAFTAR PUSTAKA

Denys Lombard. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah terpadu bagian III. Jakarta:  PT Gramedia Pustaka Uama.

Djoko Soekiman. (1992/1993). Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan MEDIA kebudayaan

Freek Colombijn,dkk. (2005). Kota lama, Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Mitsuo Nakamura. (1983). Bulan Sabit Muncul daribalik pohon beringin. Yogyakarta: UGM press.

Tim Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa.
Soekmono. (1973). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.


Anton Haryono. (Humaniora No.1 Februari 2009 volume 21). Dari Keraton ke Pasar; Industri Pribumi di Daerah Yogyakarta 1830-1930 an.















[1]  Soekmono. (1973). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius. Hal 55

[2]  Freek Colombijn,dkk. (2005). Kota lama, Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal 213.

[3]  Tim Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa. Hal 7.
[4]  Denys Lombard. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah terpadu bagian III. Jakarta:  PT Gramedia Pustaka Uama. Hal 99

[5] Ibid. hal 14
[6]  Djoko Soekiman. (1992/1993). Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan MEDIA kebudayaan. Hal 67-68
[7] Tim Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa. Hal 39-40

[8] Djoko Soekiman. (1992/1993). Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan MEDIA kebudayaan. Hal 41

[9] Tim Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa. Hal 7

[10]  Lihat Humaniora No.1 Februari 2009 volume 21. Anton Haryono. Dari Keraton ke Pasar; Industri Pribumi di Daerah Yogyakarta 1830-1930 an.

[11] Mitsuo Nakamura. (1983). Bulan Sabit Muncul daribalik pohon beringin. Yogyakarta: UGM press.hal 41

1 komentar:

  1. Tritanium Tritanium - Titanium Hockey, Basketball, Mice
    › en-us › titanium-h › en-us › titanium-h Titanium-H Titanium hockey, hockey, hockey, hockey, ice hockey. H.T.T. H.T. hockey. H.T. ice hockey. H.T. hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. titanium paint color H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. solo titanium razor H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice titanium exhaust tubing hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. oakley titanium sunglasses ice hockey. H.T. titanium trim as seen on tv ice hockey. H.T

    BalasHapus