KOTAGEDE
IBUKOTA MATARAM
Kajian
tentang Sejarah Ekonomi kota lama Yogyakarta abad ke-16 hingga abad ke-19
Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Sejarah Perkotaan

Oleh
:
Nurmi
Kusumaning Tyas
(09406241003)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKRTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menjelajahi Sejarah suatu kota ibaratkan
bagai melewati lorong waktu dan terbawa
ke tempat dimana peradaban masa lampau itu ada. Sama halnya ketika
penulis membahas Kotegede seperti kembali pada masa lampau dan merasakan
atsmosfir kehidupan pada saat itu.
Kotagede menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih mendalam terkait
bekas Ibukota lama tersebut, memaksa untuk memaparkan sesuatu yang bahkan
penulis belum lahir dikala itu. Namun itu adalah keterpaksaan yang menyenangkan
karena Kotagede menyimpan banyak peninggalan bangunan bersejarah termasuk Pasar
Gede yang merupakan pasar lama sejak zaman mataram berdiri.
Kotagede adalah sepenggal kotalama yang
mengkisahkan perjalanan kota Yogyakarta sehingga besar seperti sekarang. Yogyakarta
merupakan kota nan Istimewa, dimana jika dirunut perkembangannya pada masa
sekarang telah tetap menjadi Istimewa karena budayanya, masyarakatnya maupun
potensi wisatanya yang memukau. Hal itu pastilah tidak bisa dilepaskan akan
sejarah kota Yogyakarta pada masa lampau. Berawal dari sebuah Kerajaan yaitu
Mataram Islam yang mampu membangun sebuah peradaban kota dan berkembang hingga
sekarang.
Yogyakarta yang mendapat predikat
sebagai kota Budaya, kota bersejarah, kota perjuangan dan lain sebagainya
mempunyai kaitan yang erat dengan sejarah masa lalu dan lebih jauh menunjuk
pada sebuah kerajaan besar bernafaskan
islam yaitu Kerajaan Mataram Islam. Kemunculan kota dapat terjadi secara
spontan, sehingga dapat tumbuh menjadi kota yang berfungsi dan dari segi aspek
politik akan memegang peranan penting terhadap perkembangan kota. Disini penulis
tertarik untuk menuliskan sejarah kotagedeyang sempat menjadi ibukota mataram
dan menjadi tonggak perekonomian keraton pada masanya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana gambaran Umum
Kotagede sebagai ibukota Mataram pada Abad ke-16?
2.
Bagaimana tata kota
Kotagede?
3.
Bagaimana eksistensi
Kotagede sebagai tonggak perekonomian kraton?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui gambaran
Umum Kotagede sebagai ibukota Mataram pada Abad ke-16
2.
Menjelaskan konsep dan
tatakota Kotagede
3.
Mendeskripsikan eksistensi
Kotagede sebagai tonggak Perekonomian lewat industri kerajinan, pasar gede.
D. MANFAAT
1.
Mendapatkan pengetahuan
mengenai gambaran Umum Kotagede sebagai ibukota Mataram
2.
Mendapatkan Penjelasan
terkait konsep dan tatakota Kotagede
3.
Dapat mendeskripsikan eksistensi
Kotagede sebagai tonggak Perekonomian lewat industri kerajinan, pasar gede.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KOTAGEDE SEBAGAI
IBUKOTA MATARAM
Kotagede adalah sebuah kota lama dari
abad ke-16 yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan
oleh Ki Gede Pamanahan. Bumi mataram diperolehnya ketika bersama Ki
Penjawi berhasil menumpas kerusuhan pajang
yang dipimpin oleh Arya
Panangsang. Atas keberhasilannya itu sultan Hadiwijaya yang merupakan Raja
Pajang memberi hadiah Ki Penjawi dan Ki Gede Pemanahan berupa tanah di Pati dan
Mataram. Pada waktu itu Pati telah menjadi kota yang ramai, sedangkan Mataram
masih berupa hutan bernama Alas Mentaok. Setelah menerima bumi Mataram, Ki Gede
Pemanahan menjadi petinggi si daerah tersebut dan kemudian bernama Ki Gede
Mataram atau Ki Ageng Mataram. Ki Ageng Mataram mempunyai anak Sutawijaya yang
menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya di Pajang.
Masih terkait dengan ceritera tersebut,
Soekmono juga mendukung hal itu, disebutkan bahwa Kotagede secara historis
merupakan bekas kota lama dan pernah mengalami masa kejayaan sebagai kota besar
pada jaman Panembahan Senopati. Nama kecil panembahan Senopati adalah
Sutawijaya yang terkenal gagah berani dan mahir dalam berperang. Cikal bakal
Kotagede bermula dari Kyai Ageng Pamanahan yang bergelar Pemanahan Ki Gede
Mataram, seorang perwira raja Pajang, Kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah
selatan. Mataram yang pada waktu itu masih berupa hutan Mentaok dihadiahkan
oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Gede Mataram karena telah dapat membunuh Raden
Adipati Aryo Panangsang yang telah melakukan pemberontakan pada tahun 1527 di
Jepang Panolan.[1]
Menurut H.J. van Mook, Kotagede pada
awal abad ke-20 memang tidak lagi menunjukkan dirinya sebagai sebuah Ibukota
dari salah satu bekas ibukota kerajaan Mataram Islam abad ke-17, kecuali nama
yang melekat pada wilayah ini, masjid, makam dan legenda yang terus hidup
didalam masyarakatnya. Kotagede telah melewati rute perjalanan yang panjang,
sehingga situs-situs yang tersisa seperti tembok-tembok kota dan tata ruang
kota pada awal abad ke-20 tidak lagi menunjukkan kemegahan sebuah kota yang
pada awalnya berkembang sebagai kota keraton.[2]
Pembangunan Ibukota Setelah pajang surut, muncullah Panembahan
Senopati menjadi adipati di Mataram. Sebagai seorang adipati, Senapati, ia
mempunyai cita-cita meluaskan kekuasaannya ke timur dan barat. Pada tahun 1587
daerah timur dapat dikuasainya dan pada tahun 1595 daerah Cirebon ditundukannya
pula. Pusat kekuasaannya ditempatkan di Kotagede yang teretak kurang lebih 6 km
dari kota Yogyakarta. Kotagede merupakan bekas kota lama yang pernah mengalami
kejayaan sebagai kota besar pada jamannya (Panembahan Senopati). Sebagai
ibukota dan pusat perdagangan, kotagede menjadi tempat tinggal bagi orang-orng
yang kayak arena usaha perdagangannya yang maju dan dilengkapi pula dengan
masjid yang dikenal Masjid Mataram Kotagede[3]
Setelah perjanjian Giyanti 1755,
Kotagede sebagai warisan nenek moyang dinasti Mataram dibagi menjdi dua pula,
seperti halnya wilayah mataram lainnya. Sebagian Kotagede menjadi wilayah
Kasunanan Surakarta dan sebagian lagi menjadi wilayah Kasultanan Yogyakarta.
Dalam perkembangannya pada tahun 1950, wilayah milik kasunanan Surakarta
dimasukkan ke lingkungan administrasi
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, bersama-sama dengan enclave Imogiri dan Ngawen
B. TATA KOTA KOTAGEDE
Konsep tentang Kekuasaan Masyarakat Jawa, pada
umumnya mengutamakan unsur kosmologi sebagai pemegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Unsur tersebut kemudian menjadi konsep dan acuan tindakan
manusia dalam menentukan kebijaksanaan hidup, termasuk membangun suatu
pemerintahan, kerajaan, istana juga kota. Di Jawa konsep mengenai kerajaan dan
kekuasan dipengaruhi adanya hubungan antara manusia dengan penciptanya,
merambah juga antara rakyat (kawula) dengan rajanya (gusti). Dengan kata lain
ajaran Hindu-Budha masih mewarnai pemerintahan pada masa 9-10 M di Jawa masih
berlanjut pada masa Islam yaitu saat-saat kerajaan Islam.
Pada zaman mataram, konsep itu berkembang sedikit
menjadi konsep lingkaran konsentris. Ditengah-tengah keraton, tempat kediaman
raja, ruang yang diistimewakan, dengan “pemerintah dalam”nya sendiri (parentah
jero). Disekitar istana, ibukota yang disebut dengan nama nagara, seperti
Negara itu sendiri. Ibukota merupakan
kedudukan “pemerintahan luar” (parentah jaba), dan disitu terdapat kediaman
kaum bangsawan dan kaum priyayi, yang ditempatkan di bawah patih atau “perdana
menteri”. Dan disekitar ibukota itu terdapat lingkaran nagaragyng, yang secara
harfiah berarti “ibukota besar” atau lebih tepat :ibukota dalam arti luas”.[4]
Dari data arkeologis di Kotagede ditemukan adanya
masjid kerajaan, makam kerajaan, pasar, sisa-sisa benteng, sisa jagang yang
masih Nampak, mmerupakan bukti mengenai tatakota lama Kotagede. Selain itu
topomini nama-nama tempat, pemukiman yang masih
dikenal sampai kini erat kaitannya dengan keberadaan Kotagede sebagai
bekas ibukota kerajan. Adanya masjid, makam, alun-alun yang ini merupakan
perkampungan (kampong alun-alun),
kesemuanya merupakan kelengkapan keraton.[5]
Orientasi tata kota lama Kotagede, dapat
diketahui pula bagaimana karakteristik atau watak-watak khusus situs lingkungan
kota. Berdasarkan pertimbangan ekologis, Kotagede didirikan di daerah subur
dengan aliran sungai Gajahwong yang selain bermanfaat untuk pertanian juga
mempunyai nilai pertahanan bagi kota. Kampong dalem yang diperkirakan bekas
istana, oleh SRI Sultan Hamengku Buwono VIII dijadikan tempat makam keluarga
sultan yang tidak dapat dimakamkan di
Imogiri karana alasan tertentu. Kampong dalem ini berada di sebelah selatan
kampong Alun-alun. Sedang disebelah baratnya berdiri kompleks masjid Mataram
Kotagede. Perkampungan disekitar Dalem masih menujukkan tempat tinggal. Di
sebelah utara kampong alun-alun terdapat Pasar Gede yang telah ada sejak lama.
Raja dan kerabat Istana dibantu oleh
para punggawa dan abdi dalem memungkinkannya untuk membuat perkampungan sesuai
dengan kebutuhan profesi masing-masing. Sehingga pola konsentris tetap
berangsung semenjak pemerintahan kerajaan sebelumnya yaitu kotadan istana
sebagai titik pusat, disamping pemukiman pembantu raja yang ada di sekitarnya.perubahan
pagar, benteng dalam dan luar (beteng
njero dan beteng jaba), jagang
dalam dan jagang luar, merupakan system pertahanan kota yang mempunyai fungsi
arti magis dalam konsep kota lama.
Baru kemudian pada permulaan abad ke
tujuh belas, Kotagede yang berstatus ibukota Kerajaaan Mataram secara
perlahan-lahan ditinggalkan oleh Sultan Agung dan lebih banyak tinggal di Kerta
dan Plered. Amangkurat 1 pun bersemayam di Pleret. Meskipun demikian makam di
Kotagede tetap merupakan pusat upaacara penghormatan raja-raja.
C. KOTAGEDE SEBAGAI
TONGGAK PEREKONOMIAN KRATON
Penduduk inti berasal dari keturunan
dari abdi dalem raja yang pada dasarnya memegang peranan penting semasa ibukota
kerajaan berada di kotagede. Rumah-rumah yang dipakai penduduk golongan inti mempunyai
model Jawa yaitu pendapa, joglo, dalem dan gandhok. Ada kecenderungan rumah
huniannya meniru tempat tinggal
bangsawan keraton. Pada siang hari, rumah mereka digunakan sebagai temoat untuk
membuat perhiasan emas, perak, batik, tanduk kuningan dan barang-barang dari
tembaga. Akan tetapi yang sekarang masih dilakukan orang adalah kerajinan
perak, emas, kuningan dan tembaga.
Orang Kalang. Kalang adalah sebutan dari segolongan orang yang hidup pada
tempat-tempat tersebar dipulau Jawa, terutama di daerah-daerah seluruh Jawa
Tengah. Dahulu mereka hidup mengembara dari hutan-ke hutan, sedangkan makanan
mereka adalah buah-buahan, tumbuh-tumbuhan hutan dan binatang-binatang buruan
dan Ikan yang mereka tangkap dari sungai-sungai.[6]
Penghidupan orang-orang di Kotagede
sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha barang-barang
industry Kerajinan. Pekerjaan sebagai pengrajin ini merupakan naluri yang turun
temurun dari nenek moyangnya. Sejak abad XVI Masehi, tepatnya pada zaman
Kerajaan Mataram Islam, Kotagede telah menjadi pusat perdagangan yang cukup
maju. Barang-barang yabg diperdagangkan selain berupa hasil bumi untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, juga banyak hasil-hasil kerajinan masyarakat Kotagede.
Walaupun Kotagede dikenal sebagai pusat
perdagangan barang-barang kerajinan, akan tetapi tidak terdapat data satatistik
secara tertulis berapa besar hasil kerajinan dan perdagangan yang ada. Data
tersebut baru dapat diketemukan mulai tahun 1922 berupa catatan tentang jumlah
pedagang dan industry kerajinan dari empat kalurahan yaitu Preggan, Basen,
Sayangan dan Mutinan.[7]
Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram,
industri yang paling menonjol adalah Industri kerajinan emas yang sebagian
besar untuk memenuhi kebutuhan keraton. Berikutnya jenis kerajinan yang paling
maju di Kotagede ialah kerajinan perak. Hasil kerajinan perak Kotagede ini pada
mulanya untukmemenuhi kebutuhan para bangsawan dan keraton, terutama pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dari kasultanan Yogyakarta.[8]
Dalam perkembangan Industri Kerajinan perak Kotagede mengalami kemajuan pesat.
Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pesanan dari luar negeri. Oleh
Karena itu Kotagede lebih dikenal sebagai “Kota Perak” dari pada sebagai kota
peninggalan bekas ibukota Mataram yang bersejarah
Penduduk Kotagede terbagi menjadi empat
golongan. Petama, golongan pegawai kerajaan (abdi dalem), terdiri dari beberapa
pejabat pemerintahan, petugas makam dan masjid. Kedua, para pembuat batu
permata, perhiasan emas dan perak. Kotagede merupakan pusat perdagangan permata
terbesar di seluruh Hindia (Belanda), perdagangan batik dan berbagai kerajinan
local. Ketiga adalah golongan para perajin dan pedagang kecil. Dan golongan
keempat adalah buruh harian dan petani dari pinggiran Kotagede.[9]
TONGGAK PEREKONOMIAN
Setelah Panembahan Senopati menjadi raja
Mataram, ia membangun Ibukota Mataram sehingga menjadi ramai. Ibukota Mataram ini dijadikan pusat perekonomian dan
pemerintahan. Terbukti dengan dibangunnya Istana raja (Kedaton) yaitu tempat raja bersemayam beserta istri, para abdi, dan
punggawa kerajaan yang menjaga keamanan dan ketentramannya
Pasar Kotagede Sejarah
Dan Peranannya
Pasar Gede yang sekarang masih dapat dijumpai di
Kotagede telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pasar ini telah ada sejak
zaman Ki Ageng Pamanahan. Pasar Gede dahulu belum seluas seperti sekarang ini
dan masih ditumbuhi pohon-pohon rindang. Pasar di Kotagede ini terkenal dengan
nama “Pasar Gede” yang menjual barang-barang kebutuhan harian seperti hasil
pertanian, makanan, ikan, tembakau, dll.
Industri perak dan emas, yang berpusat
di Kotagede, juga pernah memiliki reputasi yang sangat baik. Pada awal 1890-an,
pembuatan barang-barang dari logam mulia sedang merosot dengan terjadinya
krisis ekonomi pada paruh kedua tahun 1880-an.[10]
Kotagede sendiri, tempat utama industry perak merupakan salah satu bukti
tentang prestasi besar Industri dan perdagangan pribumidi daerah Yogyakarta.
Pada masa colonial, bekas kota istana ini merupakan pusatindustri dan
perdagangan terkemuka yang telah melahirkan orang-orang kaya dari waktu ke
waktu selalu menimbulkan kekaguman bagi banyak orang.
Pusat Industri Kerajinan di Jawa abad XVII
Pendukung terbesar
perajin dan pedangan Kotagede pada
sejarah berdirinya kota adalah pihak istana kerajaan dan para pejabat.
Ini terjadi karena mereka membutuhkan barang-barang kerajinan yng memiliki
nilai istimewa seperti keris pedang, tombak, perhiasan emas dan perak, permata,
perabot yang halus, alat music, kereta dan semacamnya.[11]
Pada Jurnal Humaniora
hal 99 disebutkan bahwa Keraton, selain membutuhkan barang-barang pakai
kebutuhan sehari-hari, juga sangat berkepentingan terhadap diproduksinya
barang-barang mewah yang mampu mendukung kultus kemegahan raja. Untuk itu,
tenaga-tenaga terampil senantiaasa dipekerjakan di istana, baik pada saat
keraton masih di Kotagede, di Kreta, maupun di Plered.
Untuk mencukupi kebutuhan perekonomian,
keraton mempunyai sumber pengahasilan sendiri,daerah tertentu yang menyediakan
berasuntuk keperluan dapur istana, desa tertentu untuk menyediakan minyak
kelapa, hutan tertentu untuk menyediakan kayu bagi bangunan istana. Sumber
pemasukan kraton lainnya berupa pungutan dari rakyatdalm bentuk barang atau
tenaga kerja manusia yang bekerja sukarela untuk raja. Selain itu juga beacukai
yang dipungut dalamperdagangandan kota-kota pelabuhan dengan aktivitas
perdaganganya telah menjdi sumber keuntungan kerajaan Mataram.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Yogyakarta kaya
akan budayanya yang tidak bisa dipungkiri lagi kiprahnya yang mendunia.
Kotagede yang merupakan sebuah kecamatn di Kotamadya Yogyakarta dan secara
fisik hanya menjadi bagian kecil kota Yogyakarta, ternyata menyimpan banyak
peninggalan yang sarat dengan nilai sejarah. Kotagede adalah sebuah kota lama
dari abad ke-16 yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam, yang
didirikan oleh Ki Gede Pamanahan.
Lebih
dari itu, Kotagede terkenal akan keramaian pasarnya, hal ini sudah terjadi
semenjak Ki Ageng Pamanahan membuka hutan dan emramaikannya dengan membawa
kerabat dan pengikutnya untuk menghuni tempat baru itu. Hal yang dominan yang
menjadi Karakteristik dari Kotagede, selain tata kota yang telh terpola menurut
konsep Kerajan Jawa adalah msjid, makam. Kerajaan, pasar, alun-alun, juga
nama-nama perkampungan yang menunjukkan perofesi seorang pekerja Kraton.
Kerajinan perak
yang mencuat menggeser kerajianan emas juga merupakan cirri dari Kota lama
tersebut hingga sekarang. Walaupun kerajinan yang dilakukan orang-orang di
Kotagede umumnya masih menggunakan peralatan tradisional. Secara cultural,
Mataram yang beribukota di Kotagede ini bercorak Islam. Setelah Panembahan
Senopati menjadi raja Mataram, ia membangun Ibukota Mataram sehingga menjadi
ramai. Ibukota Mataram ini dijadikan
pusat perekonomian dan pemerintahan. Terbukti dengan dibangunnya Istana raja (Kedaton) yaitu tempat raja bersemayam
beserta istri, para abdi, dan punggawa kerajaan yang menjaga keamanan dan
ketentramannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Denys
Lombard. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya
Kajian Sejarah terpadu bagian III. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Uama.
Djoko Soekiman. (1992/1993). Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan MEDIA kebudayaan
Freek
Colombijn,dkk. (2005). Kota lama, Kota
Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Mitsuo
Nakamura. (1983). Bulan Sabit Muncul
daribalik pohon beringin. Yogyakarta: UGM press.
Tim
Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona
dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa.
Soekmono.
(1973). Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: Kanisius.
Anton
Haryono. (Humaniora No.1 Februari 2009 volume 21). Dari Keraton ke Pasar; Industri Pribumi di Daerah Yogyakarta 1830-1930
an.
[1] Soekmono. (1973). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius. Hal 55
[2] Freek
Colombijn,dkk. (2005). Kota lama, Kota
Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal 213.
[3] Tim Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya.
Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa.
Hal 7.
[4] Denys Lombard.
(2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian
Sejarah terpadu bagian III. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Uama. Hal 99
[6] Djoko Soekiman. (1992/1993). Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan
MEDIA kebudayaan. Hal 67-68
[7] Tim
Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona
dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa. Hal 39-40
[9] Tim
Peneliti LSJ. (1997). Kotagede: Pesona
dan Dinamika Sejarahnya. Yogyakarta:Lembaga Studi Jawa. Hal 7
[10] Lihat Humaniora
No.1 Februari 2009 volume 21. Anton Haryono. Dari Keraton ke Pasar; Industri Pribumi di Daerah Yogyakarta 1830-1930
an.
[11] Mitsuo
Nakamura. (1983). Bulan Sabit Muncul
daribalik pohon beringin. Yogyakarta: UGM press.hal 41
Tritanium Tritanium - Titanium Hockey, Basketball, Mice
BalasHapus› en-us › titanium-h › en-us › titanium-h Titanium-H Titanium hockey, hockey, hockey, hockey, ice hockey. H.T.T. H.T. hockey. H.T. ice hockey. H.T. hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. titanium paint color H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. solo titanium razor H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice titanium exhaust tubing hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. ice hockey. H.T. oakley titanium sunglasses ice hockey. H.T. titanium trim as seen on tv ice hockey. H.T