BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Substansi isu
lingkungan hidup sebagai obyek kajian keilmuan sangat luas cakupannya.
Kerusakan dan kebakaran hutan, keanekaragaman hayati, polusi udara akibat emisi
karbon dari industri maupun kendaraan bermotor, pencemaran sungai dan laut, kerusakan
pantai, pembuangan limbah nuklir merupakan cakupan isu lingkungan hidup yang
mempegaruhi kelangsungan hidup umat manusia sebagai individu maupun kelompok.
Akhir-akhir ini
isu kelingkungan hidup menjadi topik yang hangat diperdebatkan dalam berbagai fora
internasional karena adanya gejala pemanasan global yang semakin
menghawatirkan. Terus mencairnya es di Kutub Utara, permukaan laut yang naik,
perubahan iklim yang tidak teratur,
bencana alam yang melanda di berbagai wiayah, di permukaan bumi sangat
mempengaruhi hakikat interaksi aktor-aktor Hubungan Internasional. Kelangsungan
hidup umat manusia sedang ada dalam ancaman yang serius kalau proses pemanasan
global ini tidak segera dikendalikan.[1]
Selain itu, Isu gender sebagai suatu
wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Salah satu
yang didiskusikan tentang studi perempuan di dunia internasional adalah equality.
Hal ini berarti masalah ketidaksejajaran dan keadilan gender bukan hanya
menjadi masalah masyarakat Indonesia, akan tetapi menjadi permasalahan dunia
saat ini dan mendatang.[2]
Indonesia
menjadi salah satu negara berkembang yang disorot oleh dunia internasional
karena laju kerusakan hutan tropis yang tinggi setiap tahun. Hutan Indonesia
yang berfungsi sebagai paru-paru dunia tidak lagi menjadi urusan Indonesia
sendiri tetapi juga kepedulian Negara-negara lain yang khawatir dengan
perubahan iklim. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan
keresahan di dalam negeri dan juga di Negara-negara tetangga seperti Singapura
dan Malaysia. Tetapi persoalan lingkungan hidup
tidak hanya menyangkut kerusakan
atau kebakaran hutan tropis, tetapi juga Negara-negara industri yang memberikan
kontribusi besar terhadap emisi karbon yang menyebabkan kenaikan suhu bumi.[3]
Untuk pokok bahasan lebih lanjut, akan kami bahas dalam makalah ini.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Isu-isu
seperti apakah yang menjadi perdebatan mengenai kelingkungan hidup?
2. Bagaimanakah
konsepsi Gender dan isu gender sebagai wacana mencapai kesetaraan?
3. Bagaimanakah
politik diplomasi Indonesia?
C. TUJUAN
1. Menjekaskan
dan mengidentifikasi terkait isu-isu lingkungan hidup.
2. Mengidentifikasi
konsepsi gender dn isu –isu gender dalam proses menuju kesetaraan.
3. Menjelaskan
mengenai politik diplomasi di Indonesia.
D. MANFAAT
Penyusun
berharap, setelah membaca makalah “ Isu-isu Baru Hubungan Internasional dan
Politik” ini maka dapat menambah wawasan dan mengetahui isu-isu lingkungan
hidup saat ini,isugendet dalam proses kemitrasejajaran dan mengetahuii politik
diplomasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LINGKUNGAN
HIDUP
Isu
lingkungan hidup menempati bagian penting dari diskursus publik internasional
kontemporer. Ini dessebabkan oleh krisis keseimbangan ekologis yang dialami
dunia dengan percepatan terutama setelah Perang Dunia II. Planet yang kita
diami ini tengah mengalami proses “global
warming” yang disebabkan oleh
pengeluaran yang berlebihn dari gas-gas “rumah hijau” yang paling terkenal
diantaranya adalah kloroflorokarbon (CFCS
).[4]
Gas-gas
ini menyebabkan berkurangnya lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar
ultraviolet yang dipancarkan oleh Matahari. Masalah lainnya meliputi deforestasi
hutan tropis, yang berguna untuk mensirkulasi gas-gas berbahaya menjadi
oksigen, yang terjadi pada tingkat yang menakutkan, yaitu 30.000-37.000 mil
persegi pertahun, di Sub-Sahara proses desertifikasi terjadi dengan tingkat per
tahunnya sebesar 6 juta hektar. Dunia pun mengalami prospek musnahnya ratusan
ribu spesies dalam waktu dua puluh tahun ke depan. Bila tingkat perusakan
lingkungan seperti yang ada sekarang berlanjut, planet Bumi tidak akan sanggup
lagi menunjang para penghuninya.[5]
Baik
negara berkembang yang sedang membangun ekonominya maupun negara-negara industri
sama-sama memiliki kepentingan nasional yang mempengaruhi sikap dan kebijakan
mereka dalam mengatasi isu lingkungan hidup global.[6]
Persoalan utama yang terjadi di Negara-negara berkembang adalah upaya
pemerintahan yang berkuasa untuk menjadikan pembangunan ekonomi sebagai sumber
legitimasi kekuasaan sehingga kemudian menjadi semacam ideology yang tak boleh
diganggu gugat.[7]
Umumnya
ekspor negara berkembang bertumpu pada sumber daya alam. Indonesia misalnya,
mengandalkan minyak bumi dan ekspor kayu tropis. Kondisi demikian mudah diduga
akan berdampak pada percepatan pengurasan sumberdaya alam. Selain itu, rezim
perdagangan bebas Internasional mempunyai tujuan meningkatkan volume perdagangan
dengan membebaskan perdagangan dari
segala bentuk proteksi. Pengalaman empiris menunjukkan ekonomi global tidak
dapat tumbuh tanpa ada pengurasan ekonomi alam. Kondisi inilah yang
melatarbelakangi munculnya standarisasi produk berwawasan lingkungan pada era
perdagangan bebas.[8]
Bagi
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, kedua hal di atas dapat menjadi
dilema. Di satu pihak, terdapt kesadaran bahwa permasalahan lingkungan hidup
terasa cukup serius. Namun di lain pihak, era perdagangan bebas menuntut
produk-produk yang bermutu baik dan murah. Ketentuan standarisasi akrab
llingkungan tentunya akan menambah ongkos produksi barang yang akan menjadikan
produk-produk tersebut kurang kompetitif dibandingkan dengan yang dihasilkan
oleh Negara-negara maju yang telah terlebih dahulu mempunyai infrastruktur
produksi berwawasan lingkungan.[9]
B.
KONSEPSI
GENDER
Gender
adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya
atau masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan
perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses
belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu,
gender dapat disesuaikan dan diubah. Setiap masyarakat mengembangkan identitas
gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan
perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan,
bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan
lemah lembut, berkutat di sektor domestic (rumah), pesolek, pasif, dan
lain-lain.[10]
Isu gender sebagai suatu wacana dan
gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi
pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Respons dan pendapat yang
beragam bermunculan, mulai dari mendukung, menolak, menerima sebagai wacana
teoretis tapi tidak bisa dilaksanakan secara empiris. Kondisi mendukung dan
menolak ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Walaupun
isu gender sebagai isu ketidakadilan, yang banyak mendapat ketidakadilan adalah
pada perempuan, tetapi perempuan banyak menerima kondisi ketidakadilan itu
sebagai suatu kondisi yang sudah seharusnya diterima (taken for granted).[11]
Gender merupakan isu yang terkait erat dengan isu-isu lainnya dalam
Rencana Aksi Tripartit tentang Pekerjaan yang Layak 2002 –2005. Sebagian besar
Konvensi dan Rekomendasi menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.
Namun demikian beberapa Konvensi secara khusus memberi perhatian pada masalah
yang dialami oleh pekerja perempuan.[12]
Secara historis, konsep gender pertama kali
digulirkan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley, ia membedakan
pengertian antara jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis
kelamin (sex) berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang
menyangkut prokreasi (mensturasi, hamil, melahirkan, dan menyusui).
Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada
perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Fakih (1996)
mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya
bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.Ciri dan sifat
itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan.[13]
Semua hal yang dapat dipertukarkan
antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu
serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke
kelas yang lain itulah yang dikenal konsep gender. Perbedaan gender tidak akan
menjadi masalah sepanjang tidak menghasilkan kondisi ketidakadilan gender.
Secara faktual perbedaan gender ini menghasilkan perbedaan penghargaan sosial
diantara laki-laki dan perempuan.[14]
KONSEP KEMITRASEJAJARAN
Masalah ketidaksejajaran dan keadilan
gender bukan hanya menjadi masalah masyarakat Indonesia, akan tetapi menjadi
permasalahan dunia saat ini dan mendatang. Sebagai kelanjutan dari Dasawarsa
Wanita PBB, equality tetap menjadi salah satu fokus, yang tertuang dalam
forward looking strategies for the advanced of women. Komisi
Status Wanita dari PBB pun sampai tahum 1996 masih memfokuskan equality sebagai
berikut:
1992
: Penghapusan diskriminasi pada wanita
1993
: Peningkatan kesadaran wanita pada hak dan kesadaran hukum
1994
: Upah yang sama untuk kerja bernilai sama, kerja di sektor informal
1995
: Equality dalam pengambilan keputusan ekonomi
1996
: Penghapusan stereotipe wanita dalam media massa
Perempuan
Akan Banyak Tampil dalam Diplomasi:
Perempuan
dalam diplomasi itu, sebetulnya adalah bagaimana kita sebagai perempuan tidak
saja
menjalankan
tugas-tugas sebagai perempuan tetapi juga melakukan tugas kita sebagai
professional. Jadi balancing between family and carier, itu selalu
menarik untuk dieksploredan biasanya yang terjadi memang seperti itu, dan saya
kira itu lebih sulit daripada kita melaksanakan pekerjaan kita unsich di
kedinasan. Menurut saya, Deplu itu merupakan suatu departemen yang
mengarusutamakan gender dalam program-programnya. Dalam beberapa tahun terakhir
rekrutmen diplomat baru, tampak bahwa kompisi wanita hampir separuh dari total
diplomat baru. Pada tataran eselon 1, telah terdapat 3 eselon 1 dan 11, yang
berarti telah mencapai angka lebih 25%. Hal itu juga tercermin di jajaran
Eselon II.[15]
C.
SEKILAS
TENTANG DIPLOMASI
Diplomasi
memiliki kaitan yang erat dengan politik luar negeri, karena diplomasi
merupakan implementasi dari kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat resmi yang terlatih. Pelaksanaan diplomasi bilateral dan
multilateral serta kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh para diplomat dan
perwakilan-perwakilan yang ditempatkan di luar negeri dan di dalam
organisasi-organisasi internasional. [16]
Politik
luar negeri tidaklah lepas dari diplomasi. Diplomasi adalah alat yang dipakai
untuk melaksanakan politik luar negeri suatu Negara. Diplomasi menurut Satow
dalam Satow’s Guide to Diplomatik Practice (1979) adalah pengaplikasian dari
ilmu dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah dari dua
atau lebih Negara yang berdaulat melalui jalan yang damai.[17]
Dalam pidato radio di Jakarta pada
tanggal 15 Desember 1945, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta menyatakan: “Diplomasi
adalah muslihat yang bijaksana dengan perundingan untuk mencapai
cita-cita bangsa. Diplomasi adalah tindakan politik internasional,
tetapi nyatalah, untuk mencapai hasil yang sebaiknya dengan jalan diplomasi,
perlu ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan
diplomasi itu.”
Dengan Munculnya isu-isu baru dalam
hubgungan internasional, seperti yang telah disinggung di atas juga berpengaruh
terhadap aktivitas, cara, metode dan actor-aktor diplomasi. Masyarakat
Internasional tidak hanya berkepentingan terhadap masalah-masalah politik dan
keamanan akan tetapi telah meningkatkan kepedulian mereka terhadap isu-isu Hak
Asasi Manusia dan meningkatnya kebutuhan untuk memperoleh dan mengakses secara
bebas.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Alan Boulton. (2006). Konvensi-konvensi
ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja. Jakarta: Kantor Perburuhan
Internasional.
Aleksius
Jemadu. (2008). Politik Global dalam
Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukawarsini
Djelantik. (2008). Diplomasi antara Teori
dan Praktik. YogYakarta: Graha Ilmu.
Tabloid
DIPLOMASI,Media Komunikasi dan Informasi: Perempuan dalam diplomasi Indonesia.
No.8, Tahun I edisi 15 Agustus - 14 September 2008.
Imran.
G.Lanti. Kompleksitas Masalah Internasional dan Pemberdayaan Diplomasi
Indonesia. (Online). www.diplomasi.com , diakses tanggal 27 September 2011
Ratih
Astri. Peran Diplomasi dalam Memenangkan Perang Kemerdekaan RI. (Online).
www.diplomasi.com, diakses tanggal 27 September 2011
________. Perempuan dalam Kemelut Gender.
(Online). www.konsepgender.com
, diakses tanggal 27 September 2011
[1] Aleksius Jemadu.
(2008). Politik Global dalam Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:313
[2] Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27
September 2011
[3] Aleksius
Jemadu. (2008). Politik Global dalam
Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:313
[4]Imran. G.Lanti. Kompleksitas
Masalah Internasional dan Pemberdayaan Diplomasi Indonesia. (Online). www.diplomasi.com
, diakses tanggal 27 September 2011
[6] Aleksius
Jemadu. (2008). Politik Global dalam
Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:314
[8] Aleksius
Jemadu. (2008). Politik Global dalam
Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:312
[8] Ibid. hal:317
[10] ________.
Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27
September 2011
[12] Alan
Boulton. (2006). Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja.
Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional. Hal :4
[13] ________. Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27
September 2011
[15] Lihat Tabloid DIPLOMASI,Media Komunikasi dan Informasi: Perempuan
dalam diplomasi Indonesia. No.8, Tahun I edisi 15 Agustus - 14 September 2008 .
[16] Sukawarsini
Djelantik. (2008). Diplomasi antara Teori
dan Praktik. Yoguakarta: Graha Ilmu.
Hal: 13
[17]Ratih Astri. Peran Diplomasi dalam Memenangkan Perang Kemerdekaan RI. (Online). www.diplomasi.com diakses
tanggal 27 September 2011
[18] Sukawarsini
Djelantik. (2008). Diplomasi antara Teori
dan Praktik. Yoguakarta: Graha Ilmu.
Hal: 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar