Sabtu, 27 April 2013

ISU LINGKUNGAN HIDUP


BAB  I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Substansi isu lingkungan hidup sebagai obyek kajian keilmuan sangat luas cakupannya. Kerusakan dan kebakaran hutan, keanekaragaman hayati, polusi udara akibat emisi karbon dari industri maupun kendaraan bermotor, pencemaran sungai dan laut, kerusakan pantai, pembuangan limbah nuklir merupakan cakupan isu lingkungan hidup yang mempegaruhi kelangsungan hidup umat manusia sebagai individu maupun kelompok.
Akhir-akhir ini isu kelingkungan hidup menjadi topik yang hangat diperdebatkan dalam berbagai fora internasional karena adanya gejala pemanasan global yang semakin menghawatirkan. Terus mencairnya es di Kutub Utara, permukaan laut yang naik, perubahan  iklim yang tidak teratur, bencana alam yang melanda di berbagai wiayah, di permukaan bumi sangat mempengaruhi hakikat interaksi aktor-aktor Hubungan Internasional. Kelangsungan hidup umat manusia sedang ada dalam ancaman yang serius kalau proses pemanasan global ini tidak segera dikendalikan.[1]
Selain itu, Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Salah satu yang didiskusikan tentang studi perempuan di dunia internasional adalah equality. Hal ini berarti masalah ketidaksejajaran dan keadilan gender bukan hanya menjadi masalah masyarakat Indonesia, akan tetapi menjadi permasalahan dunia saat ini dan mendatang.[2]
Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang disorot oleh dunia internasional karena laju kerusakan hutan tropis yang tinggi setiap tahun. Hutan Indonesia yang berfungsi sebagai paru-paru dunia tidak lagi menjadi urusan Indonesia sendiri tetapi juga kepedulian Negara-negara lain yang khawatir dengan perubahan iklim. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan keresahan di dalam negeri dan juga di Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Tetapi persoalan lingkungan hidup  tidak hanya  menyangkut kerusakan atau kebakaran hutan tropis, tetapi juga Negara-negara industri yang memberikan kontribusi besar terhadap emisi karbon yang menyebabkan kenaikan suhu bumi.[3] Untuk pokok bahasan lebih lanjut, akan kami bahas dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Isu-isu seperti apakah yang menjadi perdebatan mengenai kelingkungan hidup?
2.      Bagaimanakah konsepsi Gender dan isu gender sebagai wacana mencapai kesetaraan?
3.      Bagaimanakah politik diplomasi Indonesia?

C.     TUJUAN
1.      Menjekaskan dan mengidentifikasi terkait isu-isu lingkungan hidup.
2.      Mengidentifikasi konsepsi gender dn isu –isu gender dalam proses menuju kesetaraan.
3.      Menjelaskan mengenai politik diplomasi di Indonesia.

D.    MANFAAT
Penyusun berharap, setelah membaca makalah “ Isu-isu Baru Hubungan Internasional dan Politik” ini maka dapat menambah wawasan dan mengetahui isu-isu lingkungan hidup saat ini,isugendet dalam proses kemitrasejajaran dan mengetahuii politik diplomasi di Indonesia.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    LINGKUNGAN HIDUP
Isu lingkungan hidup menempati bagian penting dari diskursus publik internasional kontemporer. Ini dessebabkan oleh krisis keseimbangan ekologis yang dialami dunia dengan percepatan terutama setelah Perang Dunia II. Planet yang kita diami ini tengah mengalami proses “global warming”  yang disebabkan oleh pengeluaran yang berlebihn dari gas-gas “rumah hijau” yang paling terkenal diantaranya adalah kloroflorokarbon (CFCS ).[4]
Gas-gas ini menyebabkan berkurangnya lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh Matahari. Masalah lainnya meliputi deforestasi hutan tropis, yang berguna untuk mensirkulasi gas-gas berbahaya menjadi oksigen, yang terjadi pada tingkat yang menakutkan, yaitu 30.000-37.000 mil persegi pertahun, di Sub-Sahara proses desertifikasi terjadi dengan tingkat per tahunnya sebesar 6 juta hektar. Dunia pun mengalami prospek musnahnya ratusan ribu spesies dalam waktu dua puluh tahun ke depan. Bila tingkat perusakan lingkungan seperti yang ada sekarang berlanjut, planet Bumi tidak akan sanggup lagi menunjang para penghuninya.[5]
Baik negara berkembang yang sedang membangun ekonominya maupun negara-negara industri sama-sama memiliki kepentingan nasional yang mempengaruhi sikap dan kebijakan mereka dalam mengatasi isu lingkungan hidup global.[6] Persoalan utama yang terjadi di Negara-negara berkembang adalah upaya pemerintahan yang berkuasa untuk menjadikan pembangunan ekonomi sebagai sumber legitimasi kekuasaan sehingga kemudian menjadi semacam ideology yang tak boleh diganggu gugat.[7]
Umumnya ekspor negara berkembang bertumpu pada sumber daya alam. Indonesia misalnya, mengandalkan minyak bumi dan ekspor kayu tropis. Kondisi demikian mudah diduga akan berdampak pada percepatan pengurasan sumberdaya alam. Selain itu, rezim perdagangan bebas Internasional mempunyai tujuan meningkatkan volume perdagangan dengan membebaskan perdagangan  dari segala bentuk proteksi. Pengalaman empiris menunjukkan ekonomi global tidak dapat tumbuh tanpa ada pengurasan ekonomi alam. Kondisi inilah yang melatarbelakangi munculnya standarisasi produk berwawasan lingkungan pada era perdagangan bebas.[8]
Bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, kedua hal di atas dapat menjadi dilema. Di satu pihak, terdapt kesadaran bahwa permasalahan lingkungan hidup terasa cukup serius. Namun di lain pihak, era perdagangan bebas menuntut produk-produk yang bermutu baik dan murah. Ketentuan standarisasi akrab llingkungan tentunya akan menambah ongkos produksi barang yang akan menjadikan produk-produk tersebut kurang kompetitif dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh Negara-negara maju yang telah terlebih dahulu mempunyai infrastruktur produksi berwawasan lingkungan.[9]

B.     KONSEPSI GENDER
Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya atau masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu, gender dapat disesuaikan dan diubah. Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestic (rumah), pesolek, pasif, dan lain-lain.[10]
Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Respons dan pendapat yang beragam bermunculan, mulai dari mendukung, menolak, menerima sebagai wacana teoretis tapi tidak bisa dilaksanakan secara empiris. Kondisi mendukung dan menolak ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Walaupun isu gender sebagai isu ketidakadilan, yang banyak mendapat ketidakadilan adalah pada perempuan, tetapi perempuan banyak menerima kondisi ketidakadilan itu sebagai suatu kondisi yang sudah seharusnya diterima (taken for granted).[11]
Gender merupakan isu yang terkait erat dengan isu-isu lainnya dalam Rencana Aksi Tripartit tentang Pekerjaan yang Layak 2002 –2005. Sebagian besar Konvensi dan Rekomendasi menerapkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian beberapa Konvensi secara khusus memberi perhatian pada masalah yang dialami oleh pekerja perempuan.[12] Secara historis, konsep gender pertama kali digulirkan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley, ia membedakan pengertian antara jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin (sex) berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (mensturasi, hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Fakih (1996) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan.[13]
Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal konsep gender. Perbedaan gender tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak menghasilkan kondisi ketidakadilan gender. Secara faktual perbedaan gender ini menghasilkan perbedaan penghargaan sosial diantara laki-laki dan perempuan.[14]
KONSEP KEMITRASEJAJARAN
Masalah ketidaksejajaran dan keadilan gender bukan hanya menjadi masalah masyarakat Indonesia, akan tetapi menjadi permasalahan dunia saat ini dan mendatang. Sebagai kelanjutan dari Dasawarsa Wanita PBB, equality tetap menjadi salah satu fokus, yang tertuang dalam forward looking strategies for the advanced of women. Komisi Status Wanita dari PBB pun sampai tahum 1996 masih memfokuskan equality sebagai berikut:
1992 : Penghapusan diskriminasi pada wanita
1993 : Peningkatan kesadaran wanita pada hak dan kesadaran hukum
1994 : Upah yang sama untuk kerja bernilai sama, kerja di sektor informal
1995 : Equality dalam pengambilan keputusan ekonomi
1996 : Penghapusan stereotipe wanita dalam media massa
Perempuan Akan Banyak Tampil dalam Diplomasi:
Perempuan dalam diplomasi itu, sebetulnya adalah bagaimana kita sebagai perempuan tidak saja
menjalankan tugas-tugas sebagai perempuan tetapi juga melakukan tugas kita sebagai professional. Jadi balancing between family and carier, itu selalu menarik untuk dieksploredan biasanya yang terjadi memang seperti itu, dan saya kira itu lebih sulit daripada kita melaksanakan pekerjaan kita unsich di kedinasan. Menurut saya, Deplu itu merupakan suatu departemen yang mengarusutamakan gender dalam program-programnya. Dalam beberapa tahun terakhir rekrutmen diplomat baru, tampak bahwa kompisi wanita hampir separuh dari total diplomat baru. Pada tataran eselon 1, telah terdapat 3 eselon 1 dan 11, yang berarti telah mencapai angka lebih 25%. Hal itu juga tercermin di jajaran Eselon II.[15]
C.    SEKILAS TENTANG DIPLOMASI
Diplomasi memiliki kaitan yang erat dengan politik luar negeri, karena diplomasi merupakan implementasi dari kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh pejabat-pejabat resmi yang terlatih. Pelaksanaan diplomasi bilateral dan multilateral serta kegiatan sehari-hari dilaksanakan oleh para diplomat dan perwakilan-perwakilan yang ditempatkan di luar negeri dan di dalam organisasi-organisasi internasional. [16]
Politik luar negeri tidaklah lepas dari diplomasi. Diplomasi adalah alat yang dipakai untuk melaksanakan politik luar negeri suatu Negara. Diplomasi menurut Satow dalam Satow’s Guide to Diplomatik Practice (1979) adalah pengaplikasian dari ilmu dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah dari dua atau lebih Negara yang berdaulat melalui jalan yang damai.[17]
Dalam pidato radio di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1945, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta menyatakan: “Diplomasi adalah muslihat yang bijaksana dengan perundingan untuk mencapai cita-cita bangsa. Diplomasi adalah tindakan politik internasional, tetapi nyatalah, untuk mencapai hasil yang sebaiknya dengan jalan diplomasi, perlu ada gerakan yang kuat dalam negeri yang menjadi sendi tindakan diplomasi itu.”
Dengan Munculnya isu-isu baru dalam hubgungan internasional, seperti yang telah disinggung di atas juga berpengaruh terhadap aktivitas, cara, metode dan actor-aktor diplomasi. Masyarakat Internasional tidak hanya berkepentingan terhadap masalah-masalah politik dan keamanan akan tetapi telah meningkatkan kepedulian mereka terhadap isu-isu Hak Asasi Manusia dan meningkatnya kebutuhan untuk memperoleh dan mengakses secara bebas.[18]















DAFTAR PUSTAKA

Alan Boulton. (2006). Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional.
Aleksius Jemadu. (2008). Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukawarsini Djelantik. (2008). Diplomasi antara Teori dan Praktik.  YogYakarta: Graha Ilmu.
Tabloid DIPLOMASI,Media Komunikasi dan Informasi: Perempuan dalam diplomasi Indonesia. No.8, Tahun I edisi 15 Agustus - 14 September 2008.

Imran. G.Lanti.  Kompleksitas Masalah Internasional dan Pemberdayaan Diplomasi Indonesia. (Online). www.diplomasi.com ,   diakses tanggal 27 September 2011
Ratih Astri. Peran Diplomasi dalam Memenangkan Perang Kemerdekaan RI. (Online). www.diplomasi.com,  diakses tanggal 27 September 2011
________. Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27 September 2011---------- EJAJARAN DI iNDONESIA



[1] Aleksius Jemadu. (2008). Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:313
[2] Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27 September 2011
[3] Aleksius Jemadu. (2008). Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:313

[4]Imran. G.Lanti.  Kompleksitas Masalah Internasional dan Pemberdayaan Diplomasi Indonesia. (Online). www.diplomasi.com ,   diakses tanggal 27 September 2011
[5] Ibid.hal 31
[6] Aleksius Jemadu. (2008). Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:314
[7] Ibid. hal:317
[8] Aleksius Jemadu. (2008). Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal:312
[8] Ibid. hal:317
[9] Ibid.hal 32
[10] ________. Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27 September 2011
[11] Ibid.hal:6
[12] Alan Boulton. (2006). Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional. Hal :4
[13]  ­­­________. Perempuan dalam Kemelut Gender. (Online). www.konsepgender.com , diakses tanggal 27 September 2011---------- EJAJARAN DI iNDONESIA
[14] Ibid.hal:6

[15] Lihat Tabloid DIPLOMASI,Media Komunikasi dan Informasi: Perempuan dalam diplomasi Indonesia. No.8, Tahun I edisi 15 Agustus - 14 September 2008 .
[16] Sukawarsini Djelantik. (2008). Diplomasi antara Teori dan Praktik.  Yoguakarta: Graha Ilmu. Hal: 13
[17]Ratih Astri. Peran Diplomasi dalam Memenangkan Perang Kemerdekaan RI. (Online). www.diplomasi.com diakses tanggal 27 September 2011---------- EJAJARAN DI iNDONESIA
[18] Sukawarsini Djelantik. (2008). Diplomasi antara Teori dan Praktik.  Yoguakarta: Graha Ilmu. Hal: 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar