Karya: Nurmi Kusumaning Tyas
Tak ku kenal siapa nama panjangnya waktu itu, yang ku kenal ketika itu adalah sebutan mbak Tin
atau mbak Titin. Sosok perempuan enerjik, cantik dan berkulit kuning langsat.
Jika dilihat dari shimat (penampilannya),
maka orang-orang akan tahu bahwa beliau adalah wanita shalikhah perubah
peradaban. Nampaknya beliau adalah
seorang aktivis kampus. Ustadzah kami itu sangat sederhana, walaupun kampus di
kota kami tak begitu menarik di kalangan pemuda-pemudi kota Pemalang tetapi
demi kami ia rela tidak keluar dari kota kecil itu. Padahal teman-teman
sebayanya berlomba-lomba menuntut ilmu di kota-kota besar, kampus bergengsi dan
lebih memilih merantau di kota orang.
Namun berbeda dengan mbak Titin yang tetap kuliah di kota
kecil kami, kota Pemalang dan mengisi waktu-waktu sorenya untuk mengajar
mengaji di desa Mengori. Aku selalu menjadi murid yang datang paling awal,,
sebelum ada teman-teman dan setelah datang banyak anak rame-rame menunggu
beliau untuk di ajar mengaji. Tak jarang kulihat beliau baru pulang mengapit
tasnya, yach….mungkin baru pulang dari kuliah. Waktu itu tak berani aku
lontarkan sebuah pertanyaan untuk ustadzah manisku itu, walaupun tersimpan
berbagai pertanyaan dalam otakku. Tapi aku salut…walaupun begitu, mbak Tin tak
pernah menampakkan wajah lelahnya, yang beliau tampakkan selalu adalah senyum
manisnya yang menungging menghias bibir cantiknya yang merah walaupun tanpa
aduan dan polesan lipstick ataupun lipglosh.
“
Assalamu’alaykum, permisi sebentar nggih,,,mbak mau minum dulu..” katanya yang
datang dari serambi rumahnya menyibak deretan anak-anak yang duduk rapi dan
mengantri untuk di ajar mengaji.
Jejeran padung tepat menaruh jilid dan Al-Qur’an mbak Tin
geser sedikit, sesudah itu ia masuk ke dalam rumahnya. Baru beberapa detik ia
masuk , sebentar saja ia sudah nongol dihadapan kami lalu duduk membersamai dan
memimpin doa belajar..
Rodhiitu billa hirobba wabil
Islamidinna wabi Muhammadinnabiya warosula robbi dzidni ilma warzuqni fahma aaamiin.Terdengar deru suara doa
anak-anak yang siap di jejali ilmu agama nan bermanfaat ini. . .
“Wach….ini
yang datang pertama pasti de Tyas kan?” Tanya mbak Tin, yang sebenarnya sudah
apal siapa-siapa urutan yang datang, aku yang kala itu adalah seorang yang amat
sangat pemalu pun mengiyakan. Dan alhasil aku hanya bisa mengangguk…
“
dibuka jilidnya, kemaren sampai mana?…oia ini sdh ketemu halamanyya…ayo ta’awuds:
audzubillahiminaasyaithaniirrajim
bismillahirrahmannirrahim…” mbak titin pun menuntun saya untuk mengaji dari
nol dan menjadi pandai. Sebelumnya sudah ada tanda tinta khas warna dari mbak
Tin. Pertanda sampai mana kita mengaji. Beliau menuntun, akupun mengikutinya,
lalu setelah bisa beliau menyimak dan membenarkan yang salah. Dan memang
apabila belum pandai betul maka halaman akan tetap disitu dan baru bisa ke
halaman berikutnya apabila sudah lancar. Subhanallah…begitu
sabarnya beliau menghadapi kami-kami yang terkadang bandel.. bahkan sering anak-anak
laki-laki bandel ngumpetin sandal anak putri yang telah tertata rapi itu hingga
menangislah si anak tersebut. Pemandangan tersebut sangat jarang kan untuk
masa-masa sekarang…
Teringat beberapa bulan yang lalu, saat pertama kali aku
datang ke Rumah sederhana untuk belajar mengaji itu, tanganku di gandeng Abi
(sebutanku untuk ayah) dan diantarkannya aku ke sebuah rumah yang saat itu
penuh sesak oleh anak-anak seumuranku. Deruh riuhnya suasana canda anak-anak
yang bermain di halaman mbak Tin kulihat. Rupanya mereka mengisi waktunya
sambil menunggu gilirannya untuk mengaji. Mereka bergerombol-gerombol layaknya
genk motor, Ada segerombol yang dolanan cublak-cublak
suweng, dan ada segelintir yang main kejar-kejaran. Tanganku masih di
gandeng Abi, melewati pelataran rumah penuh sesak oleh riuhnya anak-anak. Lalu
aku diajaknya masuk, dikenalkannya mbak Tin kepadaku. Dengan malu-malu aku sambut
tangan halusnya, menempelkannya pada pipiku. Sambutannya tak kalah manis.
“
Assalamu’Alaykum, hey adik manis,,, siapa ini yang berbaju merah dan berjilbab
merah…sini duduk samping mbak Tin sayang…”
Abi
melepaskannya tanganku dari genggamnnya, dan disuruhnya aku duduk, lalu akupun
duduk menuruti perintah Abi dan mbak Tin, disitu serasa aku seperti orang Asing
yang tak kenal siapa-siapa.. lalu Abipun pulang. Dan aku menatap punggungnya
yang berlalu dihadapanku, kurasa ada sebersit air yang mengumpul di pojok bola
mataku. Tapi lalu ku hapus dan kemudian ikut mengaji. Aku saat itu
bingung,,,abi bagaimana Tyas pulang,,,,teriakku dalam hati. Tapi ternyata Abi
telah menitipkanku pada mbak Tin, dan disitu kutemukan teman bernama Wety dan
Asih…dia yang selalu menemaniku saat mengaji. Lalu kamipun menjadi sahabat
kecil yang tak terlupakan, hoby kami sama…membuat puisi dan menggambar…aku
semakin betah disitu.
***
Hari ini hari kamis, kebiasaan kami ketika hari itu ada
suatu hari yang sepesial untuk mbak Tin, dimana ia memperoleh gaji Kecilnya,
yaitu dengan sistem Kemisan, disini anak-anak sukarela memberikan uangnya untuk
gaji selama seminggu, mbak Tin memang tidak pernah meminta akan tetapi para
orang tualah yang secara sukarela memberikannya lewat anak-anaknya, bahkan tak
jarang yang tidak memberikan uang Kemisan itu karena keterbatasan uang yang
mereka punyai. Tapi bagi mbak Tin, ia mengajar mengaji bukanlah mengharapkan
uang Kemisan, tapi karena ia tulus membagi pengetahuan yang ia punyai yang
beliau yakini akan menjadi lading amalnya kelak. Sungguh…apabila semua orang
berfikiran seperti itu maka banyak sekali ustad-ustad dan ustadzah yang
bermunculan..tapi sayangnya tidak…
Mbak
Tin adalah satu-satunya guru ngaji di desa kami, jadi banyak anak-anak yang
berjalan lumayan jauh untuk menunut ilmu agama dari mbak Tin. Tak aneh jika
Rumah mbak Tin selalu penuh sesak oleh suara-suara anak-anak kecil dan terhias
lantunan anak mengaji Al-Quran,,
“assalamu’alaikum….Tyas
ma Asih berangkat ngaji dulu bu…pak” aku berpamitan untuk pergi ke Rumah mbak
Tin,,ada senyum yang menghias dari wajah Abi dan Ummi..saat itu,,dan aku
kembali berlalu dihadapan Abi dan Ummi.
Di
jalan, aku dan Asih asyik bercerita kejadian masing-masing yang kami alami tadi
pagi waktu kita bersekolah,, karena asyiknya akupun lupa kalau hari ini hari
Kamis, tak terasa kita sampai di depan rumah mbak Tin, masih sepi kala itu.
Belum ada anak-anak lain yang datang. Kami berdualah yang pertama.
“Yas
kamu bawa uang Kamisan kan?” Tanya Asih Padaku
“
hah?? Astagfirullah…Tyas lupa sih, aduh gimana donk…Tyas mau pulang lagi
ya,,bilang ke mbak Tin maaf Tyas Telat” aku kaget campur bingung dan takut
karena pertama kalinya aku lupa membawa uang Kamisan.
“
masa mau pulang Yas?? Kan jauh…gini aja, gimana kalau uang aku kita bagi dua?”
tawar Asih sambil menunjukkan uang seribuan kepadaku. Asih yang berasal dari
keluarga kurang mampu itu, sangat baik padaku, kami saling berbagi dan memberi…aku
juga salut padanya yang selalu ikhlas memberi jika aku tak membawa perbekalan
makanan ketika sekolah.
“yach…uang
kamisanmu berkurang donk Sih…gag papa aku pulang aja yach…” kataku ngeyel
“
kalo pulang nanti kamu juga bakalan lama pulangnya, maghrib baru selesai
mengaji karena antrianmu diambil orang…sudah bagi dua saja sama aku, nanti waktu
kamisan selanjutnya kan kamu bisa kembalikan padaku kalo memang kamu engga sudi
menerima bantuanku” kata-kata Asih Membuat mataku berkaca-kaca, kupeluknya
tubuh putih mungil itu..
“bukan
begitu maksudku Sih…baiklah aku mau menerimanya…” aku dan Asih tersenyum dan
Asih menyadari aku yang cengeng telah mengeluarkan air mata, lalu diusapnya air
mataku dengan tangannya.
“Trimakasih
ya…”ucapku kembali…
Lalu
kami berduapun masuk dan menaruh jilid kami di atas padung yang telah tertata.
Seakan memang telah menunggu kehadiran kami, lalu kami keluar lagi menunggu
Wety sahabat kami yang satunya dan juga menunggu mbak Tin datang.
“doooor!!!
Hahaha kaget ya??” suara wety mengagetkan kami.
“hih…wety!!
Kaget tau…” jawab kami serentak lalu kami pun tertawa bersama.
Sesaat
setelah wety datang, kuliat diujung gang dekat rumah Mbak Tin, kulihat
samar-samar sosok mirip Ummi, dan ternyata benar itu ummi… Alhamdulillah…Ummi
tau kalau aku lupa membawa hak untuk ustadzah kami tercinta.
“
ndug…lupa bawa uang kamisan to? Suara Ummi yang agak-agak medok terdengar jelas
di telingaku, maklum Ummi adalah orang jogja Asli.
“
nggih mi, syukran….Tyas jadi merepotkan, hehe” aku tertawa malu…
“
ndag papa, ini…..Ummi pulang ya” ummi menyodorkan selembar uang bergambar
Pangeran Diponegoro itu padaku, mengusap kepalaku lalu pergi meninggalkan kami
bertiga…”
“wach…banyak
banget yas,, traktir jajan donk” pinta Wety
“huss…ndag
boleh, dosa tau!! Ini kan untuk kamisan…” jawabku
“iya
jangan yas…nanti durhaka membohongi orang tua, itu kan untuk kamisan, ah wety
ni gag boleh begitu tau…tidak baik, kalo nglakuin itu sama aja kita temennya
setan…” Asih ikut membelaku.
“hehehe,,,iya
aku tau, kan Cuma bercanda,,,kan kita anak baik…” kami bertigapun tersenyum…
Kemudian
mbak Tin datang dan anak-anak berlari meghampiri untuk bersalaman lalu duduk
rapi di dalam menunggu antrian mengaji…
Sudah
tiga tahun berlalu,, dan kami bertigapun sudah naik tingkat,,, tiga tahun yang
lalu kami kelas satu SD,,Asih yang tergolong lebih muda dari akupun telah mahir
melantunkan ayat-ayat cinta Allah. Kami bertiga sekarang telah menginjakan kaki
menjadi kelas 3 SD..Aku, Asih dan Wety pun layaknya ombak dan laut yang tak
bias terpisahkan, semakin kental. Yach,,,,seperti itu persahabatan kami. Pada
suatu hari kami tahu, bahwa ustadzah kami tercinta “mbak Tin” akan milad (ulang tahun), kami berfikir kado
apa yang akan kami berikan,,,tabungan kami hanyalah seberapa rupiah saja, tak
mungkin kami mampu membelikan jilbab cantik untuk ustadzah kala itu. Kami
melakukan diskusi…haha seperti orang-orang penting yang duduk dalam sebuah
lembaga saja yang kerjaannya diskusi panjang lebar tanpa ujung.
***
Siang
hari dengan sengatan terik mentari kami melakukan kebiasaan kami. Yach…sekedar
bermain-main di sekolah…memang seperti itu kami, sepulang sekolah saat tiada
murid lagi disitu, kami datangi sekolah kami yang telah berumur itu, terlihat
dari temboknya yang telah muncul bercak-bercak hijau yang selalu menyapa kami.
Ditengah asyiknya bermain aku teringat akan ustadzah kami itu.
“
hei…shob,,, mbak Tin mau ultah, ada yang punya ie ga kita mau kasih
apa?”tanyaku
“
oh iya…aku hampir lupa,, kalo kue tart gimana shob? Jawab wety…
“
waduh terlalu mahal klo kue tart, lagian itu tradisi barat dan kalo menurut
Asih pribadi kurang bermanfaat untuk mba Tin” jawab Asih menimpali
“
iya bener banget apa yang diomongin asih wet….” Jawabku singkat
“hm,,,,trus
apa??” wety mulai kebingungan mencari ide
“gimana
kalau kita beli jilbab atau buku-buku iqra untuk disumbangkan ke rumah ngaji
mbak tin?” lontarku
“bagus
ci yas….tapi,,,qita uang dari mana? Tabunganku kemaren dah abis buat bayar uang
sekolah yas, maklum bapak lagi nganggur…” kata Asih sedih…
“kenapa
kita ga memakai bakat kita?” cetus Wety yang serasa memberi angin segar untuk
ini.
“
bakat???” tanyaku dan Asih yang masih melongo karena idenya
“’
iya….bakat,,, kita kan punya bakat puisi….kenapa ga kita keluarkan,,” kata Wety
“sepertinya
asyik tuk….okey aku setuju. Gimana kalo kamu yas?” Tanya Asih
“
okey….kita buat dalam bentuk kartu ucapan, kita desain ala kita sendiri,
berkreasilah intinya…”
“Okey…”
jawab wety dan Asih serempak
….sehari-dua
hari aku belum punya aide puisi apa yang nantinya akan ku sajikan, hmmm…agaknya
wety dan asih pun demikian. Segera ku ambil pena dan secarik kertas tak
bernyawa itu. Masih putih…sebelum
guratan-guratan syair pena itu menodai kesucian kertas.
Jilbab indahmu
Oleh: Tyas Zahratullaili
Senin,,,,
kau balutkan jilbab biru diatas mahkotamu
Cantik…elok…menambah
pesona cantikmu ustadzah…
Sepoy
anginpun serasa mabuk, berhenti bertiup
terkesima
dengan cantiknya parasmu
selasa….nuansa alami meyerbak di
ruangan mengaji
bukan karna banyaknya pepohonan,
bukan juga karna banyaknya daun bersemi,
melainkan warna hijau,, mendominasi
pakaian takwamu
Rabu,,,
wajahmu tersembunyi di balik kerudung ungu
Tapi
aneh,,,cantikmu tak tersembunyi oleh jilbabmu
Ustadzah…aku
iri dengan kebaikanmu
Aku
ingin sepertimu, bisakah??
Kamis,,,,engkau manis…
Madu iri denganmu,
Coklatpun tersaingi olehmu
Dan air susu menangis, karna engkau mengambil manisnya mreka
Sabtu,Minggu
tak luput dari pesonamu
Bukan
karena kecantikan wajahmu,
Bukan
karena kemolekan tubuhmu,
Namun
karna kebaikanmu menuntun kami
Mengeja
huruf alif lam mim-NYA
Syukran
katsir ya ustadzah…
We
love you because Allah..
Kau Getarkan Kalbuku…
Karya: Asih Welas Sulistya
Alif…Ba…Ta…
Ku
Eja huruf-huruf itu
Tak
tahu, diriku amat bodoh ketika itu,
Tak
sehurufpun ku kenal
Tsa..jim…kha…
Dari
tak ku tahu hingga mahir,,
Alif…lam…Mim…
Aku
telah mahir,,,ustadzah
Lalu
ku lanjutkan mendendangkan surat itu
Pertama
kalinya dengan ayat-ayat cinta Ilahi itu,
Yang
mampu menggetarkan hatiku,
Mampu
membangun asaku,
Dan
mampu membuatku bergantung
dalam
buku tuntunan hidupku
Al-Qur’an…
Tak
kan bisa ku kenal huruf itu,
Tak
kan bisa ku bersahabat dengannya
dan
tak bisa melantunkan senandung gema ilahi itu
tanpa
sebuah perantaramu..
trimakasih
ustadzah….
Engkau
tuntun kami, meraih cinta Ilahi…
Trimakasih
ustadzah…
Engkau
telah mampu menggetarkan hatiku
Di
hari jadimu, izinkan muridmu
Ucapkan:
met milad ukhti shalikhah…
Guru ngajiku…
Karya: Wety Nur Baeti
Ustadzah…
Aku bagaikan pohon kecil
Kecil dan membutuhkan siraman
Ya….siraman
Sebelum aku tumbuh dan daunku bersemi
sebelum akhirnya pohon itu mengeluarkan bunganya
aku adalah sebatang pohon kecil yang kering
yang kan layu diterpa angin
ustadzah…
daunku dulu menguning, kemudian rontok
gugur hampir tak satupun tersisa
namun kini daunku telah bersemi
hijau memenuhi tubuhku
karena kau telah memeberikan siraman
siraman…
siraman ilmu yang bermanfaat
siraman nasehat
dan banyak siraman-siraman lainnya
Setelah 2 hari milad mbak Tin,,, beliau mengumpulkan kami
bertiga, dan mengundang kami disebuah rumah makan, mbak Tin mengucapkan
terimaksihnya karna telah mengingat hari ulang tahunnya, ia terharu.
“Tyas, Asih, Wety…syukran nggih bingkisan puisinya,,, mbak
suka,,,indah sekali…terimakasih ya…” katanya sambil meneteskan air mata, kami
bertigapun tanpa terasa menjatuhkan air ke pipi dan dengan cepat air itu
mengalir melewati setiap liku wajah kami. Setelah itu,,,, tanpa kami duga mbak
Tin memberikan tiga buah bingkisan untuk kami, satu berwarna merah, yang ku
tahu itu disiapkan untukku karna mbak Tin tahu bahwa warna kesukaannku merah
kala itu, yang satu berwarna merah jambu untuk Asih satunya biru untu Wety.
Kami buka dan Alhamdulillah…masing-masing sebuah Qur’an terjemah untuk kami
bertiga….syukran Ustadzah,,,,syukran mbak Tin…
Selesai pada: 11
Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar