Jumat, 26 April 2013

BINGKISAN PUISI UNTUK USTADZAH…



Karya: Nurmi Kusumaning Tyas
Tak ku kenal siapa nama panjangnya waktu itu, yang  ku kenal ketika itu adalah sebutan mbak Tin atau mbak Titin. Sosok perempuan enerjik, cantik dan berkulit kuning langsat. Jika dilihat dari shimat (penampilannya), maka orang-orang akan tahu bahwa beliau adalah wanita shalikhah perubah peradaban. Nampaknya beliau adalah seorang aktivis kampus. Ustadzah kami itu sangat sederhana, walaupun kampus di kota kami tak begitu menarik di kalangan pemuda-pemudi kota Pemalang tetapi demi kami ia rela tidak keluar dari kota kecil itu. Padahal teman-teman sebayanya berlomba-lomba menuntut ilmu di kota-kota besar, kampus bergengsi dan lebih memilih merantau di kota orang.
Namun berbeda dengan mbak Titin yang tetap kuliah di kota kecil kami, kota Pemalang dan mengisi waktu-waktu sorenya untuk mengajar mengaji di desa Mengori. Aku selalu menjadi murid yang datang paling awal,, sebelum ada teman-teman dan setelah datang banyak anak rame-rame menunggu beliau untuk di ajar mengaji. Tak jarang kulihat beliau baru pulang mengapit tasnya, yach….mungkin baru pulang dari kuliah. Waktu itu tak berani aku lontarkan sebuah pertanyaan untuk ustadzah manisku itu, walaupun tersimpan berbagai pertanyaan dalam otakku. Tapi aku salut…walaupun begitu, mbak Tin tak pernah menampakkan wajah lelahnya, yang beliau tampakkan selalu adalah senyum manisnya yang menungging menghias bibir cantiknya yang merah walaupun tanpa aduan dan polesan lipstick ataupun lipglosh.
“ Assalamu’alaykum, permisi sebentar nggih,,,mbak mau minum dulu..” katanya yang datang dari serambi rumahnya menyibak deretan anak-anak yang duduk rapi dan mengantri untuk di ajar mengaji.
Jejeran padung tepat menaruh jilid dan Al-Qur’an mbak Tin geser sedikit, sesudah itu ia masuk ke dalam rumahnya. Baru beberapa detik ia masuk , sebentar saja ia sudah nongol dihadapan kami lalu duduk membersamai dan memimpin doa belajar..
Rodhiitu billa hirobba wabil Islamidinna wabi Muhammadinnabiya warosula robbi dzidni ilma warzuqni fahma aaamiin.Terdengar deru suara doa anak-anak yang siap di jejali ilmu agama nan bermanfaat ini. . .
“Wach….ini yang datang pertama pasti de Tyas kan?” Tanya mbak Tin, yang sebenarnya sudah apal siapa-siapa urutan yang datang, aku yang kala itu adalah seorang yang amat sangat pemalu pun mengiyakan. Dan alhasil aku hanya bisa mengangguk…
“ dibuka jilidnya, kemaren sampai mana?…oia ini sdh ketemu halamanyya…ayo ta’awuds: audzubillahiminaasyaithaniirrajim bismillahirrahmannirrahim…” mbak titin pun menuntun saya untuk mengaji dari nol dan menjadi pandai. Sebelumnya sudah ada tanda tinta khas warna dari mbak Tin. Pertanda sampai mana kita mengaji. Beliau menuntun, akupun mengikutinya, lalu setelah bisa beliau menyimak dan membenarkan yang salah. Dan memang apabila belum pandai betul maka halaman akan tetap disitu dan baru bisa ke halaman berikutnya apabila sudah lancar. Subhanallah…begitu sabarnya beliau menghadapi kami-kami yang terkadang bandel.. bahkan sering anak-anak laki-laki bandel ngumpetin sandal anak putri yang telah tertata rapi itu hingga menangislah si anak tersebut. Pemandangan tersebut sangat jarang kan untuk masa-masa sekarang…
Teringat beberapa bulan yang lalu, saat pertama kali aku datang ke Rumah sederhana untuk belajar mengaji itu, tanganku di gandeng Abi (sebutanku untuk ayah) dan diantarkannya aku ke sebuah rumah yang saat itu penuh sesak oleh anak-anak seumuranku. Deruh riuhnya suasana canda anak-anak yang bermain di halaman mbak Tin kulihat. Rupanya mereka mengisi waktunya sambil menunggu gilirannya untuk mengaji. Mereka bergerombol-gerombol layaknya genk motor, Ada segerombol yang dolanan cublak-cublak suweng, dan ada segelintir yang main kejar-kejaran. Tanganku masih di gandeng Abi, melewati pelataran rumah penuh sesak oleh riuhnya anak-anak. Lalu aku diajaknya masuk, dikenalkannya mbak Tin kepadaku. Dengan malu-malu aku sambut tangan halusnya, menempelkannya pada pipiku. Sambutannya tak kalah manis.
“ Assalamu’Alaykum, hey adik manis,,, siapa ini yang berbaju merah dan berjilbab merah…sini duduk samping mbak Tin sayang…”
Abi melepaskannya tanganku dari genggamnnya, dan disuruhnya aku duduk, lalu akupun duduk menuruti perintah Abi dan mbak Tin, disitu serasa aku seperti orang Asing yang tak kenal siapa-siapa.. lalu Abipun pulang. Dan aku menatap punggungnya yang berlalu dihadapanku, kurasa ada sebersit air yang mengumpul di pojok bola mataku. Tapi lalu ku hapus dan kemudian ikut mengaji. Aku saat itu bingung,,,abi bagaimana Tyas pulang,,,,teriakku dalam hati. Tapi ternyata Abi telah menitipkanku pada mbak Tin, dan disitu kutemukan teman bernama Wety dan Asih…dia yang selalu menemaniku saat mengaji. Lalu kamipun menjadi sahabat kecil yang tak terlupakan, hoby kami sama…membuat puisi dan menggambar…aku semakin betah disitu.
***
Hari ini hari kamis, kebiasaan kami ketika hari itu ada suatu hari yang sepesial untuk mbak Tin, dimana ia memperoleh gaji Kecilnya, yaitu dengan sistem Kemisan, disini anak-anak sukarela memberikan uangnya untuk gaji selama seminggu, mbak Tin memang tidak pernah meminta akan tetapi para orang tualah yang secara sukarela memberikannya lewat anak-anaknya, bahkan tak jarang yang tidak memberikan uang Kemisan itu karena keterbatasan uang yang mereka punyai. Tapi bagi mbak Tin, ia mengajar mengaji bukanlah mengharapkan uang Kemisan, tapi karena ia tulus membagi pengetahuan yang ia punyai yang beliau yakini akan menjadi lading amalnya kelak. Sungguh…apabila semua orang berfikiran seperti itu maka banyak sekali ustad-ustad dan ustadzah yang bermunculan..tapi sayangnya tidak…
Mbak Tin adalah satu-satunya guru ngaji di desa kami, jadi banyak anak-anak yang berjalan lumayan jauh untuk menunut ilmu agama dari mbak Tin. Tak aneh jika Rumah mbak Tin selalu penuh sesak oleh suara-suara anak-anak kecil dan terhias lantunan anak mengaji Al-Quran,,
“assalamu’alaikum….Tyas ma Asih berangkat ngaji dulu bu…pak” aku berpamitan untuk pergi ke Rumah mbak Tin,,ada senyum yang menghias dari wajah Abi dan Ummi..saat itu,,dan aku kembali berlalu dihadapan Abi dan Ummi.
Di jalan, aku dan Asih asyik bercerita kejadian masing-masing yang kami alami tadi pagi waktu kita bersekolah,, karena asyiknya akupun lupa kalau hari ini hari Kamis, tak terasa kita sampai di depan rumah mbak Tin, masih sepi kala itu. Belum ada anak-anak lain yang datang. Kami berdualah yang pertama.
“Yas kamu bawa uang Kamisan kan?” Tanya Asih Padaku
“ hah?? Astagfirullah…Tyas lupa sih, aduh gimana donk…Tyas mau pulang lagi ya,,bilang ke mbak Tin maaf Tyas Telat” aku kaget campur bingung dan takut karena pertama kalinya aku lupa membawa uang Kamisan.
“ masa mau pulang Yas?? Kan jauh…gini aja, gimana kalau uang aku kita bagi dua?” tawar Asih sambil menunjukkan uang seribuan kepadaku. Asih yang berasal dari keluarga kurang mampu itu, sangat baik padaku, kami saling berbagi dan memberi…aku juga salut padanya yang selalu ikhlas memberi jika aku tak membawa perbekalan makanan ketika sekolah.
“yach…uang kamisanmu berkurang donk Sih…gag papa aku pulang aja yach…” kataku ngeyel
“ kalo pulang nanti kamu juga bakalan lama pulangnya, maghrib baru selesai mengaji karena antrianmu diambil orang…sudah bagi dua saja sama aku, nanti waktu kamisan selanjutnya kan kamu bisa kembalikan padaku kalo memang kamu engga sudi menerima bantuanku” kata-kata Asih Membuat mataku berkaca-kaca, kupeluknya tubuh putih mungil itu..
“bukan begitu maksudku Sih…baiklah aku mau menerimanya…” aku dan Asih tersenyum dan Asih menyadari aku yang cengeng telah mengeluarkan air mata, lalu diusapnya air mataku dengan tangannya.
“Trimakasih ya…”ucapku kembali…
Lalu kami berduapun masuk dan menaruh jilid kami di atas padung yang telah tertata. Seakan memang telah menunggu kehadiran kami, lalu kami keluar lagi menunggu Wety sahabat kami yang satunya dan juga menunggu mbak Tin datang.
“doooor!!! Hahaha kaget ya??” suara wety mengagetkan kami.
“hih…wety!! Kaget tau…” jawab kami serentak lalu kami pun tertawa bersama.
Sesaat setelah wety datang, kuliat diujung gang dekat rumah Mbak Tin, kulihat samar-samar sosok mirip Ummi, dan ternyata benar itu ummi… Alhamdulillah…Ummi tau kalau aku lupa membawa hak untuk ustadzah kami tercinta.
“ ndug…lupa bawa uang kamisan to? Suara Ummi yang agak-agak medok terdengar jelas di telingaku, maklum Ummi adalah orang jogja Asli.
“ nggih mi, syukran….Tyas jadi merepotkan, hehe” aku tertawa malu…
“ ndag papa, ini…..Ummi pulang ya” ummi menyodorkan selembar uang bergambar Pangeran Diponegoro itu padaku, mengusap kepalaku lalu pergi meninggalkan kami bertiga…”
“wach…banyak banget yas,, traktir jajan donk” pinta Wety
“huss…ndag boleh, dosa tau!! Ini kan untuk kamisan…” jawabku
“iya jangan yas…nanti durhaka membohongi orang tua, itu kan untuk kamisan, ah wety ni gag boleh begitu tau…tidak baik, kalo nglakuin itu sama aja kita temennya setan…” Asih ikut membelaku.
“hehehe,,,iya aku tau, kan Cuma bercanda,,,kan kita anak baik…” kami bertigapun tersenyum…
Kemudian mbak Tin datang dan anak-anak berlari meghampiri untuk bersalaman lalu duduk rapi di dalam menunggu antrian mengaji…
Sudah tiga tahun berlalu,, dan kami bertigapun sudah naik tingkat,,, tiga tahun yang lalu kami kelas satu SD,,Asih yang tergolong lebih muda dari akupun telah mahir melantunkan ayat-ayat cinta Allah. Kami bertiga sekarang telah menginjakan kaki menjadi kelas 3 SD..Aku, Asih dan Wety pun layaknya ombak dan laut yang tak bias terpisahkan, semakin kental. Yach,,,,seperti itu persahabatan kami. Pada suatu hari kami tahu, bahwa ustadzah kami tercinta “mbak Tin” akan milad (ulang tahun), kami berfikir kado apa yang akan kami berikan,,,tabungan kami hanyalah seberapa rupiah saja, tak mungkin kami mampu membelikan jilbab cantik untuk ustadzah kala itu. Kami melakukan diskusi…haha seperti orang-orang penting yang duduk dalam sebuah lembaga saja yang kerjaannya diskusi panjang lebar tanpa ujung.
***
Siang hari dengan sengatan terik mentari kami melakukan kebiasaan kami. Yach…sekedar bermain-main di sekolah…memang seperti itu kami, sepulang sekolah saat tiada murid lagi disitu, kami datangi sekolah kami yang telah berumur itu, terlihat dari temboknya yang telah muncul bercak-bercak hijau yang selalu menyapa kami. Ditengah asyiknya bermain aku teringat akan ustadzah kami itu.
“ hei…shob,,, mbak Tin mau ultah, ada yang punya ie ga kita mau kasih apa?”tanyaku
“ oh iya…aku hampir lupa,, kalo kue tart gimana shob? Jawab wety…
“ waduh terlalu mahal klo kue tart, lagian itu tradisi barat dan kalo menurut Asih pribadi kurang bermanfaat untuk mba Tin” jawab Asih menimpali
“ iya bener banget apa yang diomongin asih wet….” Jawabku singkat
“hm,,,,trus apa??” wety mulai kebingungan mencari ide
“gimana kalau kita beli jilbab atau buku-buku iqra untuk disumbangkan ke rumah ngaji mbak tin?” lontarku
“bagus ci yas….tapi,,,qita uang dari mana? Tabunganku kemaren dah abis buat bayar uang sekolah yas, maklum bapak lagi nganggur…” kata Asih sedih…
“kenapa kita ga memakai bakat kita?” cetus Wety yang serasa memberi angin segar untuk ini.
“ bakat???” tanyaku dan Asih yang masih melongo karena idenya
“’ iya….bakat,,, kita kan punya bakat puisi….kenapa ga kita keluarkan,,” kata Wety
“sepertinya asyik tuk….okey aku setuju. Gimana kalo kamu yas?” Tanya Asih
“ okey….kita buat dalam bentuk kartu ucapan, kita desain ala kita sendiri, berkreasilah intinya…”
“Okey…” jawab wety dan Asih serempak
….sehari-dua hari aku belum punya aide puisi apa yang nantinya akan ku sajikan, hmmm…agaknya wety dan asih pun demikian. Segera ku ambil pena dan secarik kertas tak bernyawa itu.  Masih putih…sebelum guratan-guratan syair pena itu menodai kesucian kertas.



Jilbab indahmu
Oleh: Tyas Zahratullaili
Senin,,,, kau balutkan jilbab biru diatas mahkotamu
Cantik…elok…menambah pesona cantikmu ustadzah…
Sepoy anginpun serasa mabuk, berhenti bertiup
terkesima dengan cantiknya parasmu
            selasa….nuansa alami meyerbak di ruangan mengaji
            bukan karna banyaknya pepohonan,
bukan juga karna banyaknya daun bersemi,
            melainkan warna hijau,, mendominasi pakaian takwamu
Rabu,,, wajahmu tersembunyi di balik kerudung ungu
Tapi aneh,,,cantikmu tak tersembunyi oleh jilbabmu
Ustadzah…aku iri dengan kebaikanmu
Aku ingin sepertimu, bisakah??
Kamis,,,,engkau manis…
Madu iri denganmu,
Coklatpun tersaingi olehmu
Dan air susu menangis, karna engkau mengambil manisnya mreka
Sabtu,Minggu tak luput dari pesonamu
Bukan karena kecantikan wajahmu,
Bukan karena kemolekan tubuhmu,
Namun karna kebaikanmu menuntun kami
Mengeja huruf alif lam mim-NYA
Syukran katsir ya ustadzah…
We love you because Allah..



Kau Getarkan Kalbuku…
Karya: Asih Welas Sulistya
Alif…Ba…Ta…
Ku Eja huruf-huruf itu
Tak tahu, diriku amat bodoh ketika itu,
Tak sehurufpun ku kenal
Tsa..jim…kha…
Dari tak ku tahu hingga mahir,,
Alif…lam…Mim…
Aku telah mahir,,,ustadzah
Lalu ku lanjutkan mendendangkan surat itu
Pertama kalinya dengan ayat-ayat cinta Ilahi itu,
Yang mampu menggetarkan hatiku,
Mampu membangun asaku,
Dan mampu membuatku bergantung
dalam buku tuntunan hidupku
Al-Qur’an…
Tak kan bisa ku kenal huruf itu,
Tak kan bisa ku bersahabat dengannya
dan tak bisa melantunkan senandung gema ilahi itu
tanpa sebuah perantaramu..
trimakasih ustadzah….
Engkau tuntun kami, meraih cinta Ilahi…
Trimakasih ustadzah…
Engkau telah mampu menggetarkan hatiku
Di hari jadimu, izinkan muridmu
Ucapkan: met milad ukhti shalikhah…


Guru ngajiku
Karya: Wety Nur Baeti

Ustadzah…
Aku bagaikan pohon kecil
Kecil dan membutuhkan siraman
Ya….siraman
Sebelum aku tumbuh dan daunku bersemi
sebelum akhirnya pohon itu mengeluarkan bunganya
aku adalah sebatang pohon kecil yang kering
yang kan layu diterpa angin
ustadzah…
daunku dulu menguning, kemudian rontok
gugur hampir tak satupun tersisa
namun kini daunku telah bersemi
hijau memenuhi tubuhku
karena kau telah memeberikan siraman
siraman…
siraman ilmu yang bermanfaat
siraman nasehat
dan banyak siraman-siraman lainnya

Setelah 2 hari milad mbak Tin,,, beliau mengumpulkan kami bertiga, dan mengundang kami disebuah rumah makan, mbak Tin mengucapkan terimaksihnya karna telah mengingat hari ulang tahunnya, ia terharu.
“Tyas, Asih, Wety…syukran nggih bingkisan puisinya,,, mbak suka,,,indah sekali…terimakasih ya…” katanya sambil meneteskan air mata, kami bertigapun tanpa terasa menjatuhkan air ke pipi dan dengan cepat air itu mengalir melewati setiap liku wajah kami. Setelah itu,,,, tanpa kami duga mbak Tin memberikan tiga buah bingkisan untuk kami, satu berwarna merah, yang ku tahu itu disiapkan untukku karna mbak Tin tahu bahwa warna kesukaannku merah kala itu, yang satu berwarna merah jambu untuk Asih satunya biru untu Wety. Kami buka dan Alhamdulillah…masing-masing sebuah Qur’an terjemah untuk kami bertiga….syukran Ustadzah,,,,syukran mbak Tin…


Selesai pada: 11 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar