Sabtu, 27 April 2013

PILIH TERTAWA ATAU MENANGIS ???


PILIH  TERTAWA  ATAU  MENANGIS ???
Sahabat, jika aku melontarkan pertanyaan itu, apa yang kalian pilih? Apakah kalian akan memilih tertawa?? Ataw lebih suka akan tangis?? Yach…Mungkin kebanyakan dari kalian lebih suka tertawa. Benarkah itu??Andai kalian mengetahui apa yang akan aku sampaikan ini pasti kalian akan lebih sering menangis daripada tertawa. Sabda baginda Rasulullah saw kepada umatnya. Tangis dan tawa merupakan indikasi ilmu, penyata sejauh mana kita memahami hakekat hidup di alam yang fana ini.
Tapi sayangnya kebanyakan manusia lebih suka tertawa daripada menangis. Lebih menyukai guyon dan lawak ketimbang petuah dan nasehat. Karenanya bisnis tawa menjanjikan keuntungan besar. Grup-grup lawak digemari khalayak, dibandingkan menjadi seorang ADK yang terjun ke dalam suatu LDK. Mungkin bahwa tertawa itu dapat mengenyahkan stress dan mengusir penyakit. Konon tertawa selama 5-10 menit saja sudah merangsang keluarnya endorphin, serotin plus melatonin, dua zat kimia positif yang menimbulkan rasa tenteram dan nyaman. Tertawa sekaligus dipercaya mengurangi pengeluaran adrenalin, kortisol dan radikal bebas (zat kimia jahat). Selain itu, tertawa juga bisa menurunkan tekanan darah dan detak jantung, mengurangi kadar kolesterol jahat. Sistem immune dirangsang dengan tertawa, yaitu salah satunya melalui sel antikanker yang akan memakan sel kanker dalam tubuh.
Sebaliknya, banyak orang enggan menangis, kecuali terpaksa. Mereka beranggapan menangis itu adalah perbuatan yang sia-sia, petanda lemah dan cengeng. Namun sebenarnya menangis itu tidak jelek dan terkadang perlu. Menangis merupakan salah satu cara untuk melampiaskan perasaan dan melegakan hati. 
 Sahabat Muslim,,, tangisan seorang hamba yang bertobat, minta ampun atas segala dosa karena merasa takut kepada Allah swt adalah terpuji. Yazid bin Maisarah ra pernah berkata bahwa orang menangis karena tujuh sebab. Pertama, karena gembira. Kedua, karena gila. Ketiga, karena sakit. Keempat, karena gentar. Kelima, karena menunjuk-nunjuk. Keenam, karena mabuk. Dan ketujuh, karena takut kepada Allah SWT. Beliau menambahkan bahwa tangisan yang akhir inilah yang bisa memadamkan lautan api walau hanya dengan setetes air mata saja.
Orang yang menangis karena Allah SWT termasuk tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan pada hari kiamat, ketika tidak ada perlindungan kecuali dariNya, kata Rasulullah saw. Mereka adalah seorang yang senantiasa menyebut-nyebut nama Allah dimasa lapang, lalu kelopak matanya digenangi air mata. Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”
Menangis karena Allah bukanlah indikasi kerapuhan jiwa. Malah menandakan kepekaan hati, ketajaman jiwa dan kebeningan perasaan. Orang yang menangis dalam keadaan ini hanyalah orang-orang yang selalu berdzikir, senantiasa mengingat Allah dalam segala situasi dengan khusyu', serta selalu bertaqarrub dan bermunajat kepada Nya, sedang orang yang lalai tak mungkin bisa melakukan ini. Karena itu menangis merupakan kebiasaan dan akhlaq para nabi dan shalihin. 
Banyak kisah yang menunujukkan betapa para shalihin lebih sering menangis daripada tertawa. Diriwayatkan bahwa Thabit Bunani rah mengalami sakit mata. Dokter berkata, “Matamu akan sembuh sekiranya engkau menunaikan satu janji, yaitu jangan menangis.” Jawab beliau, “Tidak ada sama sekali kebaikan pada mata yang tidak menangis.” Ka’ab al-Ahbar ra pula berkata, “Demi zat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, tangisanku karena takut akan Allah SWT sehingga air mata mengalir di pipiku lebih aku sukai dari pada aku bersedekah sebukit emas”. 

Alangkah indahnya doa Rasulullah SAW: "Ya Allah anugerahilah kepada kami dua buah mata yang menangis kerana takut kepada-Mu, sebelum datang masa dimana tak ada lagi air mata." Wallahu ‘alam

SEJARAH WANITA




RESENSI
Judul              : Perempuan dan Media Massa Surabaya Awal Abad Ke-20
Pengarang    : Mutiah Amini
Penerbit         : Jurnal Lembaran Sejarah
Edisi               : vol.7, No.1
Tahun Terbit : 2004

Masalah kedudukan dan peran wanita memang telah menjadi wacana yang “ramai” diperbincangkan. Bila menyusuri perkembangan peradaban manusia, memang perempuan hanya memainkan peran social, ekonomi, dan politik yang kecil atau terbatas dibandingkan dengan laki-laki, sebaliknya peran domestiknya yang lebih ditonjolkan, baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga. Padahal dinamika peradaban masnusia lebih banyak berlangsungdi lingkungan public, tempat laki-laki berkiprah.
Pembahasan mengenai perempuan dalam penelitian sejarah selama ini sering terlupakan. Hal itu tampak, contohnya dari tidak banyaknya  karya sejarah yang membicarakan perempuan, baik sebagai karya sendiri maupun sebahgai bagian dari karya sejarah secara keseluruhan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih banyak mengenai perempuan pada masa lalu, tulisan ini memfokuskan perhatian pada kehidupan perempuan dalam lingkup local, yaitu perempuan Surabaya. Seperti yang dikemukakan dalam artikel Mutiah Amini ini.
Menurut tulisan Mutiah Amini mengenai Perempuan dan Media Massa Surabaya Awal Abad Ke-20, seiring dengan majunya kota Surabaya menjadi kota Industrialisasi pada akhir bad ke-19 maka membuat kiprah perempuan Surabaya itu makin melejit. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai buruh pabrikan dan yang tak kalah penting adalah kiprah perempuan Surabaya pada media Masanya. Jadi merespons kemajuan kota dan pertumbuhan media msa yang begitu pesat pada awal abad ke-20.
Di Surabaya kemudian munculah media masa perempuan. Dimana menurut Mutiah amini, media massa perempuan ini awalnya sengaja diterbitkan untuk kalangan perempuan saja. Namun pada perkembangannya, media massa perempuan juga  dibaca oleh laki-laki sehingga tak sedikit dari merekayang memberikan  beragam argumentasi (respons) terhadap pemberitan yang dimuat di dalam edia massa perempuan itu.
Kemudian dalam tulisan ini  juga dibahas mengenai pendidikan Perempuan. Yang ternyata juga menjadi factor penting dalam menumbuh kembangkan media massa perempuan. Karena adanya keterbukaan di bidang pendidikan menumbuhkan kesadaran kolektif di kalangan perempuan. Sehingga muncul pula sekolah khusus perempuan pertama yang didirikan di kota Surabaya yaitu: meisjesschool. Yang pada awalnya bertujuan untuk memberikan pendidikan khusus kepada anak-anak bangsa Eropa, terutama anak-amnak industrialis gula.
Selain itu di Surabaya berdiri pula sekolah khusus untuk perempuan Jawa. Sekolah pertama bagi perempuan Jawa yang didirikan di Surabaya adalah sekolah Kartini. Sekolah Kartini ini merupakan sekolah khusus perempuan dengan konsep pengajaran yang disesuaikan cita-cita Kartini, yaitu memberikan bekal pengetahuan yang cukup bagi perempuan. Disekolah itu, perempuan diberikan berbagai ilmu dan pengetahuan umum, selain juga dididik untuk menjadi ibu rumah tangga  yang baik, yang menguasai beberapa jenis pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, menjahit dan membatik.
Tidak hanya itu saja, bahkan yayasan-yayasan keagamaan turut menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk perempuan, seperti sekolah perempuan Kristen, Islam maupun Katolik. Akan tetapi sebagaimana parasiswa sekolah Kartini, siswa sekolah perempuan Kristen, Islam maupun Katolik masih terbatas pada kalangan masyarakat kelas atas.
Dalam tulisan Mutiah amini juga telah dibahas berbagai macam lembaga-lembaga dan organisasi social yang juga sering mengadakan pendidikan dan pelatohan berupa kursus-kursus tentang keperempuanan dari mulai Aisyiyah termasuk juga PPII ( Persatoean Perhimpuanan Poetri Indonesia), banyak hal yang bisa kita dapatkan kebermanfaaatannya yaitu tambahan ilmu dan pengetahuan mengenai perempuan dan media massa Surabaya Awal Adad ke-20 ketika membacanya, topik-topik yang bersumber dari kehidupan perempuan Surabaya masa lampau serasa kental disajikan dengan adanya kendala-kendalanya di dalam suatu masyarakat, sehingga dapatlah untuk menjadi bahan diskusi satu sama lain.
Menurut Mutiah Amini, peredaran media massa di Surabaya diawali oleh terbitnya surat kabar berbahasa Belanda  Soerabaiasch Advertieblad pada 1835. Sebagai surat kabar pertama yang terbit di Surabaya. Setelah itu, industry-industry surat kabat banyak sekali muncul ke permukaan seperti De Oostpost, De Nieuwsbode, Soerabajaasch Handelsblad, dan lain sebagainya. Maka dengan maraknya industry surat kabardi Surabaya, kebebasan surat kabar tidak serta merta dijamin oleh pemerintah colonial. Dalam menjalankan aktivitasnya, penerbit surat kabar selalu dibatasi oleh Undang-undang media massa, yang memuat peraturan mengenai kewajiban bagi setiap penerbit surat kabar untuk menyerahkan satu eksemplar terbitannya sebelum diedarkan ke masyarakat. Jadi peran pemerintah kolonial sangat besar dalam pengawasan isi pemberitaan surat kabar Surabaya.
Sangatlah menarik tulisan dari Mutiah Amini ini, karena didalamnya juga disertakan pembahsan pengenai peta perpolitikan di Surabaya yang semakin bergejolak. Ditandai dengan terbitnya surat kabar dari kaum pergerakan, antara lain Swara Oemoem serta  Penjebar Semangat yang merupakan surat kabar mingguan berbahasa Jawa yang dimotori oleh Dr. Soetomo. Setelah itupun perkembangan surat kabar Surabaya dirasa semakin pesat saja.
Bagian yang paling menarik adalah pembahasan pada Point Media Massa yang bertemakan Perempuan. Menurutnya,  media massa bertemakan perempuan yang terbit di Surabaya pada dasarnya dibedakan atas 2 hal. Pertama, media massa yang dikelola oleh perempuan dan secara khusus mempublikasikan medianya bagi segmen pembaca perempuan. Kedua, media massa umum, tetapi secara berkala memuat kolom khusus tentang perempuan. Munculnya media massa perempuan menunjukkan kemampuan perempuan dalam mengelola dan mempublikasikan gagasannya.
Majalah perempuan yang paling muda yang ada di kota surabaya adalah Doenia Isteri , selain itu terdapat juga majalah Femina namun penerbitan Femina tidak selancar Doenia Isteri, menurutnya, majalah Doenia Isteri mampu menjangkau semua permasalahan seputar perempuan. Konstributor artikel dan pembacanya pun tidak hanya berasal dari Surabaya, tetapi juga dari berasal kota-kota lain diJawa seperti bandung, Semarang dan Yogyakarta. Ini menndakan peran perempuan Surabaya kala itu, telah hebat.
Munculnya berbagai artikel-artikel yang mengulas tentang perempuan di media massa, baik media massa perempuan maupun media massa umum ternyata membawa dampak pada pembentukan gya hidup baru perempuan Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari pemuatan iklan-iklan produk-produk khusus untuk perempuan di media massa, seperti took pakaian, perhiasa, kosmetika, dan lain sebaginya
Kesimpulannya  artikel ini sangat bagus untuk dibaca dan menarik karena dibarengi oleh gambar-gambar iklan, ilustrasi yang muncul dalam surat kabar perempuan tempo dulu. Juga sumber referensi penulisan artikel ini juga dirasa cukup sebagai bukti penguatan. Demikian paparan resensi dari artikel yang berjudul “Perempuan dan Media Massa Surabaya Awal Abad Ke-20” oleh Mutiah Amini, yang memaparkan masalah kehidupan perempuan Surabaya kala itu dari pendidikannya hingga berdampak pada media massanya yang berkembang pesat dan member warna dan wajah baru bagikota Surabaya pada awal abad ke-20.

Nama : Nurmi Kusumaning Tyas
09406241003
Pendidikan Sejarah Reguler

PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PEMBUDAYAAN; Pandangan ki hajar dewantara


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Ki Hajar Dewantara, yang semula bernama R.M Suwardi Suryadiningrat, lahir di Jogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Beliau lahir dari keluarga bangsawan (cucu Pakualam III), yang meninggalkan kebangsawanannya untuk terjun dalam pergerakan  kemerdekaan Indonesia dan berjuang memperbaiki nasib rakyat. Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922, mendirikan perguruan Nasional Taman Siswa di Yogyakarta. Sejak saat itu sampai akhir hayatnya, 26 April 1959. Ki Hajar Dewantara  memelihara dan mengasuh Taman Siswa. [1]
Kita mengetahui bahwa salah satu tokoh pendidikan Nasional Indonesia yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan pendidikan di tanah air adalah Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara mengawali pikiran-pikiran tentang pendidikannya dengan menekankan bahwa pendidikan yang terjadi pada masa itu tidak cukup memberikan ruang gerak kepada peserta didik untuk berkembang dan dipengaruhi oleh muatan-muatan kolonialisme, pikiran-pikiran Ki Hajar Dewantara sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan sebagai salah satu pikiran pendidikan yang bersal dari dalam negeri. Dengan pengalaman  dan analisis kritis terhadap pendidikan barat, Ki Hajar Dewantara memberikan pendekatan alternative dalam dunia pendidikan.
Ki Hajar Dewantara sebagai peletak dasar pendidikan nasional, hal ini diakui presiden Soekarno dalam kata sambutannya (JAKARTA, 20 Januari 1962), dalam buku Karya Ki Hajar Dewantara: bagian pertama pendidikan, menegaskan  kita kenal Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh nasional, tokoh kemerdekaan dan tokoh pendidikan nasional, yang dengan keuletan dan ketabahan hati berjoang terus, “sepi ing pamrih rame ing gawe”…karangan-karangan beliau adalah sangat luas dan mendalam, yang tidak saja dapat membangkitkan semangat perjuangan nasional sewaktu jaman penjajahan, tetapi juga meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.[2]  Akhir kata, materi ini sangat bermanfaat untuk dipelajari oleh para mahasiswa, yaitu untuk membuka wawasan tentang perkembangan pendidikan di Indonesia.

B.     RUMUSAN MASALAH
1)      Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan di pandang dalam sudut Kebudayaan?
2)      Bagaimana pendidikan sebagai proses pembudayaan dalam konsep taman Siswa?
3) Bagaimana penerapan pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran berwawasan kemasyarakatan?


C.    TUJUAN
1.      Mengetahui bagaimana panadangan Ki Hajar Dewantara  mengenai pendidikan dalam kebudayaan?
2.      Mengetahui konsep taman siswa terkait dengan pendidikan
3. Mengetahui dan memahami penerapan pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran berwaawasan kemasyarakatan.

D.    MANFAAT
Penyusun berharap, setelah membaca makalah “ Pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai Pendidikan sebagai proses pembudayaan” ini maka dapat menambah wawasan dan mengetahui pandangan Ki Hajar Dewantara  mengenai pendidikan dalam kebudayaan, konsep taman siswa terkait dengan pendidikan dan memahami penerapan pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran berwaawasan kemasyarakatan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENDIDIKAN DALAM KEBUDAYAAN
Kebudayaan dan pendidikan layaknya teman yang karib. Dalam upaya untuk mengetahui hakikat kebudayaan, maka kita dapat mengkaji pandangan Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pembangunan pendidikan nasional. Tentang konsepnya mengenai kebudayaan nasionalnya dikenal sebagai teori Trikon. Menurut  Ki Hajar Dewantara kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat). Dari rumusan tersebut mengandung beberapa hal yaitu:1) kebudayaan selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewujudkan sifat atau watak kepribadian bangsa. 2)tiap-tiap kebudayaan menunjukkan  keindahan dan tingginya adat kemanusiaan pada hidup masing-masing bangsa yang memilikinya. 3)tiap-tiap kebudayaan sebagai buah  kemenangan manusia terhadap  kekuatan alam dan zaman selalu memudahkan dan melancarkan hidupnya serta memberi alat-alat baru untuk kemajuan hidup dan memudahkan serta memanjukan dan mempertinggi taraf kehidupannya.[3]
Salah satu proses yang luas dikenal mengenai kebudayaan adalah transmisi kebudayaan. Artinya kebudayaan itu  di transmisikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidian yang merumuskan proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.
            Betapa pentingnya  peranan pendidikan di dalam  kebudayaan menurut  pemikiran Ki Hajar Dewantara dapat kita lihat dalam system among yang berisi mengajardan mendidik. Tugas lembaga pendidikan bukan hanya mengajar untuk menjadi orang pintar  dan pandai berpengetahuan cerdas, tetapi mendidik berarti menutun  tumbuhnya budi pekerti dalam  kehidupan agar supaya  kelak menjadi  manusia berpribadi yang beradab dab bersusila. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan berbudaya. Sebagai manusia budaya ia sangggup dan mempu mencipta segala sesuatu yang bercorak luhur dan indah, yakni yang disebut kebudayaan. Dengan demikian  maka manusia itu dalam hidup lahir dan hidup batinnya selalu menampakkan sifat-sifat luhur, halus, dan indah. Di dalam salah satu pidatonya pada kngres pendidikan antar Indonesia tahun 1949 beliau  mengatakan antara lain bahwa pendidikan dan pengajaran adalah usaha kebudayaan semata-mata, bahwa perguruan itu ialah taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa. Dengan demikian cita-cita Ki Hajar Dewantara ialah pendidikan merupakan usaha untuk mempersatukan bangsa Indonesia.[4]

B.     KONSEP TAMAN SISWA
Supaya kita memahami permasalahan kebudayaan dalam pendidikan ada baiknya kita mengetahui bagaimana konsep taman siswa mengenai hal tersebut. Hal ini disebabkan  karena Bapak Taman Siswa sebagai bapak pendidikan nasional telah meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya. Dalam kongres Taman Siswa Pertama tahu 1930, Ki Hajar Dewantara telah menyodorkan konsep pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan beralaskan garis hidup dari bangsanya (kulturil nasional) yang ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bersama-sama dengan lain bangsa untuk kemulyaan segenap manusia diseluruh dunia”.[5]
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa merupakan badan Perjuangan yang berjiwa nasional, dan badan pembangunan masyarakat dan kebudayaan. Sebagai badan perjuangan, Taman Siswa mempunyai tugas mewujudkan system pendidikan dan pengajaran nasional. Hal ini mengandung arti bahwa   Taman Siswa teguh mempertahankan dan memelihara asas-asas dan dasar-dasar  Taman Siswa dari segala macam marabahaya perpecahan yang besumber dari semangat perseorangan dan ancanman dari luar( pemerintah jajahan Belanda dan Jepang). Membangun masyarakat dan kebudayaan dengan melalui pembangunan manusia-manusia yang merdeka lahir dan batin, dan bersama-sama mewujudkan kebudayaan-kebangsaan yang berdasarkan adab kemanusiaan, sehingga setiap individu dapat memperoleh keeselamatan dalam hidup lahiriah dan kebahagiaan dalam hidup batiniah.[6]
Sehingga, dapat kita rumuskan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu:
1)      Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan
2)      Kebudayaan menjadi alasan pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan yang riil yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia.
3)      Pendidikan mempunyai arah yaitu untuk mewujudkan keperluan perikehidupan. Yang dimaksud dengan perikehidupan (matschappelijk) adalah kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat pada saat ini.
4)      Arah tujuan pendidikan ialah untuk mengangkat derajat Negara dan rakyat. Mengandung arti bahwa yang dicerdaskan bukanlah individu perorangan tetapi suatu kehidupan bangsa yang cerdas.
5)      Pendidikan yang visioner. Karena rumusan Ki Hajar Dewantara telah jauh mencakup ke depan.
Struktur organisasi Persekolahan pada Perguruan Nasional Taman Siswa mengembangkan semua Jenjang pendidikan dari tingkat paling rendah sampai pendidikan tinggi. Adapun jenjang dan jenis pendidikan tersebut yaitu:
Ø  Taman Indria, bagi anak berusia 5-6 tahun.
Ø  Taman Anak, bagi anak berusia 6-7 tahun dan 9-10 tahun
Ø  Taman Muda, bagi anak berusia 10-11tahun sampai 12-13 tahun.
Ø  Taman Dewasa, bagi anak berusia 13-14 tahun sampai 16 aatau 17 tahun dan setaraf dengan tingkat pendidikan SMP. Dismping itu juga ada Taman Dewasa Raya, yaitu jenjang pendidikannya 5 tahun setingkat dengan pendidikan SMP dan SMA
Ø  Taman Madya, bagi anak berusia 17-18 tahun sampai 20-21 tahun, yang setingkat SMA.
Ø  Taman Sarjana, bagi anak berusia 21 atau 22 tahun sampai 26 atau 27 tahun, yang setingkat dengan pendidikan di universitas.
Ø  Taman Guru
Ø  Taman Karya, yang memepersiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan masyarkat, yang setingkat dengan Taman Masya dan Taman Deawasa.[7]

C.    PENERAPAN DALAM PEMBELAJARAN BERWAWASAN KEMASYARAKATAN
Pendidikan secara umum berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti( kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Dalam pengertian ini mengandung makna bahwa pendidikan pada Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan, tetapi sebagai suatu kesatuan untuk memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.[8]
Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan, maka bukan saja selruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh unsure kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Hal ini berarti kesenian, budi pekerti, syarat-syarat agama (nilai-nilai agama), sastra (dongeng, babat, cerita-cerita rakyat dan sebagainya), juga pendidikan jasmani. Program pendidikan yang komprehensif tersebut menuntut suatu suasana pendidikan berbudaya yang hanya dapat diwujudkan secara efektif di dalam system pondok.
Pendidikan pada taman  siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara tidak menggunakan pendekatan paksaan. Dasar p[endidikan yang dipergunakan adalah Momong, Among dan Ngemong. Dalam hal ini tidak ada pelaksanaan terhadap anak didik,tetapi lebih kepada membimbing dan memimpin meskipun pad hal-hal tertentu peran tersebut juga tidak diperlukan. Anak didik berkembang sesuai dengan kodratnya, sehingga peran guru sebagai pendamping dan orang yang membantu mengarahkan siswa sesuai dengan perkembangannya.
            System pondok merupakan sarana untuk mempersatukan pendidikan ilmu pengetahuan dengan pendidikan budi pekerti serta nilai-nilai budaya lainnya, system ini  menurut Ki Hajar Dewantara bukan asing di dalam sejarah pendidikan kita yang telah mengenal system asraa yang kemudian menjadi pondok pesantren. Sudah tentu pelaksanaan system pondok di dalam pengertian adanya sarana-sarana fisik tentunyaakan meminta biaya yang cukup besar. Namun demikian, pelaksanaan system pondok juga dapat berarti mengembangkan  kondisi dan suasana  kepondokan di dalam praksis pendidikan. Khusus untuk guru system pondok tersebut mungkin merupakan suatu tuntutan. Dengan system tersebut pada calon pendidik akan dapat menghayati dan kelak dapat melaksanakan prinsip-prinsip kebudayan di dalam praksis pendidikan. Para guru professional masa depan menuntut  kesatuan di dalam kepribadiannya bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dn bagaimana mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik,tetapi uga para guru tersebut merupakan resi modern yaitu seorang intelektual,professional, dan pemimpin yang perlu dan dapat digugu.




























BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pendidikan adalah proses pembudayaan kodrat alam, maka isi pendidikan keseluruhan jenis pendidikan di Taman Siswa pada dasarnya kebudayaan yang dapat memelihara dan memajukan serta mempertinggi dan mentyempurnakan pertumbuhan jiwa raga anak, sesuai dengan garis-garis kodrat alamnya. Ditinjau dari segi wujudnya, Ki Hajar Dewantara mengartikan kebudayaan sebagai “buah budi manusia” yang berbentuk kebudayaaan lahir (materiil) dan batin (non materiil), yang selalu mengandung sifat-sifat keluhuran dan ketulusan atu keindahan, etis dan estetis, yang terdapat dalam hidup manusia. Ditinjau dari sudut proses terbentuknya, kebudayaan merupakan hasil perjuangan manusia dalam menghadapi segala kekuatan alam yang mengelilinginya, dan segala pengaruh zaman atau masyarakatnya, menyebabkan bentuk dan isi kebudayaan dari setiap bangsa terus-menerus berubah dan berkembang.
Sehubungan dengan perkembangan kebudayaan bangsa, Ki Hajar Dewantara mengemukakan asas trikon, yang menyatakan bahwa perkembangan kebudayaan kebangsaan berpusat(konsentris) pada kebudayaan lama yang terus menerus berkembang (kontinyu) dengan menerima dan memadukannya dengan unsure-unsur kebudayaan dari luar (konvergensi) yanmg menuju pada adab kemanusiaan.











DAFTAR PUSTAKA

Dwi Siswoyo,dkk. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY press.
H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ihat Hatimah,dkk. (2008). Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Redja Mudyahardjo. (2002). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi awal tentang dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


[1] Redja Mudyahardjo. (2002). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi awal tentang dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal:293
[2] Dwi Siswoyo,dkk. (2008). Ilmu Pendidikan.Yogyakarta: UNY press. Hal: 166
[3] H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya:hal  43
[4] Ibid.hal  56
[5]H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya:hal  68
[6] Redja Mudyahardjo. (2002). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi awal tentang dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal:302.

[7] Lihat Redja Mudyahardjo. (2002). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi awal tentang dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Hal:304-305.


[8] Ihat Hatimah, dkk. (2008). Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka. Hal 1.39